Senin, 02 Mei 2016

Sejarah Persija Jakarta [9]: STOVIA Selenggarakan Turnamen Sepakbola Antar Perguruan Tinggi; Kongres Pemuda 1928; Parada Harahap Membimbing Soekarno, Hatta dan Amir Sjarifoedin

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Persija Jakarta dalam blog ini Klik Disin


STOVIA Voetbal Club sudah sangat lama tidak terdengar kabar beritanya. STOVIA VC terakhir bertanding setelah menyelesaikan kompetisi sepakbola di Jakarta pada paruh pertama tahun 1913. Baru pada tahun 1926, STOVIA muncul kembali di dalam lapangan sepakbola, tetapi tidak di dalam kompetisi yang ada di Batavia. Nama STOVIA VC tidak berada di kompetisi sepakbola ETI (Eropa/Belanda) juga tidak di kompetisi sepakbola pribumi. Perseteruan dua bond di Jakarta ini, mungkin STOVIA tidak mau melibatkan diri karena dua hal, Pertama, STOVIA kini mahasiswanya tidak sesolid dulu lagi, karena di STOVIA kini juga terdapat anak-anak Eropa/Belanda. Kedua, mahasiswa STOVIA asli pribumi sudah semakin sulit membagi waktu karena kesibukan dengan berbagai agenda kepemudaan dan politik praktis.

Pada tahun ini (1926), STOVIA genap berusia 75 tahun. Itu dihitung dari kelahirannya tahun 1851. Selama 75 tahun itu sudah banyak berubah dan jauh berubah. Pada awalnya perkuliahan hanya dua tahun, kemudian tiga tahun, bertambah lagi menjadi tujuh tahun, lantas menjadi sembilan tahun. Pada tahun 1902 yang dulu namanya Docter Djawa School menjadi STOVIA, kemudian berganti nama menjadi Geneskunde School. Sebelum bernama Docter Djawa School namanya adalah Kweekschool.

Sekedar mengingat kembali bahwa Docter Djawa School mahasiswanya hanya sekitar delapan hingga sepuluh orang. Siswa-siswa pertama yang diterima dari luar Jawa di Docter Djawa School adalah berasal dari afdeeling Mandheling en Ankola (kini menjadi afdeeling Padang Sidempuan). Siswa-siswa pertama datang pada tahun 1854. Anak-anak Padang Sidempuan diterima secara regular hingga tahun 1902. Ada yang sekelas dengan Dr. Wahidin dan ada yang sekelas dengan Dr. Tjipto. Pada era STOVIA anak-anak Padang Sidempuan terus berdatangan meski persyaratannya lebih sulit, misalnya harus lulusan MULO, AMS atau lainnya. Untuk menempuh MULO dan AMS anak-anak Padang Sidempuan tetap bersemangat meski itu harus dilakukan di Padang, Medan atau Batavia. Diantara alumni STOVIA yang melakukan serupa itu asal Padang Sidempuan yang terkenal adalah Dr. Radjamin Nasution, Dr. Abdul Rasjid Siregar, Dr. Djabangoen Harahap, Dr. Alinoedin Pohan. Pada tahun 1918, ketika Ida Loemongga diterima di STOVIA, pada saat naik ke tahun kedua persiapan justru direkomendasi oleh pimpinan STOVIA untuk langsung kuliah ke Leiden. Anak seorang dokter asal Padang Sidempuan (alumni Docter Djawa School 1902) pada umur 18 tahun berangkat studi kedokteran ke Belanda.Tidak pernah pulang-pulang hingga menyelesaikan PhD-nya di bidang kedokteran. Dr. Ida Loemongga br. Nasution, PhD adalah satu dari tujuh orang Indonesia pertama bergelar doktor, orang pertama dokter Indonesia bergelar.doktor dan doktor pertama perempuan Indonesia.  

Untuk merayakan ulang tahun ke-75 dari STOVIA diselenggarakan kompetisi sepakbola antara STOVIA, Rechts Hoogeschool (Sekolah Tinggi Hukum) dan Technische Hoogeschool (Sekolah Tinggi Teknik). Turnamen yang digelar di Jakarta ini disebut STOVIA-beker (Bataviaasch nieuwsblad, 18-09-1926). Tim sepakbola STOVIA yang sekarang sudah berwarna-warni, bukan lagi 100 persen pribumi, tetapi sudah ada mahasiswa Eropa/Belanda dan Tionghoa. Demikian juga dari  Rechts Hoogeschool yang dari Jakarta maupun Technische Hoogeschool dari Bandung. Beberapa pemain dari Tim STOVIA yang ikut turnamen ulang tahun STOVIA ini adalah mahasiswa-mahasiswa yang juga menjadi pemain dari klub yang berkompetisi di Bataviasch Voetbal Bond. Mahasiswa yang bermain di kompetisi sepakbola (bond) pribumi tampaknya tidak ada.

Rechtshoogeschool vs STOVIA (1-5) (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 18-09-1926). STOVIA vs Technische Hoogeschool (4-1) (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 20-09-1926)

Setelah lama di Medan, akhirnya Radjamin dipindahkan kembali ke Batavia. Namun Radjamin Nasution belum intens dalam persepakbolaan pribumi di Jakarta, pada bulan September 1929, Radjamin sudah harus dipindahkan (kembali) ke Surabaya. Di Surabaya kelak Radjamin Nasution menggunakan waktunya sebanyak mungkin untuk membina sepakbola di Surabaya.

Tidak lama setelah kembali berdinas di Surabaya, awal November, Radjiman dan kawan-kawan mendirikan Sarikat Pekerja Bea dan Cukai. Radjamin duduk sebagai bendahara, sedangkan ketua dan sekretaris adalah HWA Waleson dan J K Lengkong. Dalam rapat tahunan Oktober 1930 komposisi pengurus Sarikat Pekerja berubah dimana ketua dan sekretaris berganti tempat, sedangkan Radjamin tetap sebagai bendahara. Pada awal Januari 1931, Radjamin pulang kampung. Radjamin menumpang kapal Batavia-Amsterdam berangkat dari Batavia tanggal 21 Januari 1931 dan turun di Belawan. Dari Medan diteruskan ke Mandailing, Tapanuli Selatan. Kepulangan Radjamin ini sehubungan keinginan bertemu dengan orangtuanya. Setelah segala sesuatunya selesai di kampong, Radjamin kembali ke Surabaya.

Di Surabaya, sebagaimana diberitakan koran-koran setempat, bahwa salah satu anggota Dewan Kota yang berasal dari penduduk pribumi, bernama Koesmadi telah berakhir masa jabatan untuk periode pertama.  Untuk menjadi anggota dewan kota berikutnya Koesmasi harus mengikuti pemilihan yang dilakukan oleh anggota dewan yang masih aktif. Diberitakan di koran-koran Surabaya, Koesmadi ternyata mencalonkan diri kembali. Nama Radjamin muncul ke permukaan untuk bersaing dengan Koesmadi. Pada hari terakhir pencalonan ternyata hanya dua orang kandidat yakni Koesmadi dan Radjamin—keduanya terbilang sebagai bangsawan, yang satu dari Jawa Timur, dan satu lagi dari Tapanuli.

Pada keesokan harinya, tanggal 25-02-1931 kedua calon datang ke kantor panitera kota untuk pengesahan calon. Namun anehnya, hari berikutnya, Koesmadi mengundurkan diri sebagai calon dan merekomendasikan dengan tulus dan hangat kepada Radjamin. Koesmadi beralasan bahwa, Radjamin, selain anggota PBI juga adalah tokoh Sumatra yang kuat dan terkemuka di Surabaya dan yakin Radjamin akan lebih mampu untuk meningkatkan aspirasi rakyat di Dewan Kota.

Meski Koesmadi mengundurkan diri, dan hanya tinggal satu kandidat, pemilihan tetap dilakukan. Pada tanggal 10-03-1931 diperoleh kabar bahwa Radjamin menang mutlak dengan jumlah perolehan suara sebanyak 62 (suara perwakilan penduduk Surabaya). Pada tanggal 7-04-1931 Dewan melakukan sidang, dimana sidang ini merupakan sidang pertama yang diikuti oleh  Radjamin. Koesmadi tidak salah. Dalam rapat dewan itu, Radjamin langsung melakukan gebrakan yang membuat anggota dewan lainnya yang hampir semuanya orang Belanda ternganga. Radjamin mengusulkan empat proposal—proposal yang harus diperjuangkan oleh Radjamin untuk memenuhi aspirasi rakyat.

Dalam sidang Dewan berikutnya, tanggal 28-05-1931 Walikota Bussemaker berbicara di hadapan anggota Dewan. Dalam sidang ini dihadiri oleh 26 anggota dewan, termasuk Radjamin Nasution yang baru sembuh dari sakit. Radjamin dalam hal ini mencecar sejumlah pertanyaan kepada walikota, terutama masalah pertanahan, air bersih dan perumahan penduduk (bagian dari proposal Radjamin). Walikota tampaknya hari-hari ke depan akan menghadapi seorang pribumi yang cerdas, berani dan berpengalaman dalam birokrasi pemerintah. Kita tunggu. Sekarang kita kembali (lagi) ke Jakarta.

Tunggu deskripsi lebih lanjut

*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar