Sabtu, 04 Februari 2017

Sejarah Bandung (17): Surat Kabar di Bandoeng, Preanger Bode Hingga Pikiran Rakyat; Jejak Sejarah Pers Indonesia

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bandung dalam blog ini Klik Disini


Tentang keberadaan Preanger dan Bandoeng sudah sejak lama ada dalam pemberitaan. Nama ‘Preanger’ kali pertama disebut di surat kabar pada tahun 1810 terkait dengan pembagian wilayah dimana tiga provinsi: Prefecten (provinsi) Iacatrasch en Preangerbovenlanden, province Bantam dan Provinsi Chirebon (lihat Bataviasche koloniale courant, 02-02-1810, edisi kelima). Sementara nama ‘Bandoeng’ kali pertama diberitakan di surat kabar pada tahun 1829 terkait dengan penempatan controleur di Tjiandjoer, Bandoeng, Sumedang dan Limbangan (Javasche courant, 06-08-1829).

De Preanger Bode, 27-07-1896 (edisi kelima)
Untuk sekadar pemandu: surat kabar Pemerintah Hindia Belanda mucnul kali pertama tahun 1810 (Bataviasche koloniale courant edisi pertama 05-01-1810). Lalu kemudian surat kabar ini digantikan oleh surat kabar berbahasa Inggris, Java government gazette di era pendudukan Inggris (pada bulan Februari 1912). Setelah Belanda berkuasa kembali, surat kabar tersebut digantikan oleh Bataviasche courant dan baru kemudian muncul nama surat kabar Javasche courant. Catatan: di era VOC (sebelum era Pemerintah Hindia Belanda) sudah ada surat kabar bernama Bataviaasche Nouvelles (terbit sejak 1744 di Batavia),

Itulah kisah awal Preanger dan Bandoeng dalam dunia media yang mendahului sebelum adanya media surat kabar di Bandoeng. Surat kabar yang terbit di Bandoeng ini akan banyak memberitakan tentang Preanger dan Bandoeng baru muncul pada tahun 1896 (yang akan coba dilacak). Sejak tahun 1896 surat kabar di Bandoeng terus eksis hingga ini hari. Lantas surat kabar apa yang pertama kali terbit di Bandoeng? Dan apa pula hubungannya surat kabar tersebut dengan surat kabar Pikiran Rakyat.

Pada masa ini, Bandung dan Priangan (Jawa Barat) tetap memiliki surat kabar legendaris: Pikiran Rakyat. Surat kabar yang tidak tergantikan di Bandung dan Priangan. Rakyat Bandung adalah Pikiran Rakyat, dan Pikiran Rakyat adalah Rakyat Bandung, seperti mottonya: ‘Dari Rakyat, Oleh Rakyat dan Untuk Rakyat’. Pikiran Rakyat selalu menghiasi sejarah pers nasional dan selalu mendapat tempat pada Hari Pers Nasional yang jatuh pada tanggal 9 Februari.

Preanger Bode

Media surat kabar sudah sejak lama ada di berbagai tempat utama di Hindia Belanda: Batavia, Semarang, Surabaya, Padang dan Medan. Di Bandoeng media surat kabar baru terberitakan pada tahun 1896 yakni surat kabar berbahasa Belanda yang disebut Preanger Bode.

Nama Preanger Bode, mengikuti nama Java Bode. Sebagaimana penamaan surat kabar pada masa itu, yang satu mengikuti yang lain, apakah karena karena terkait investor yang sama atau hanya sengaja ingin miniru agar lebih mudah popular dan sebagainya.

De locomotief, 08-07-1896
Surat kabar Preanger Bode dalam bentuk aslinya, kali pertama diterbitkan tahun 1896 di Bandoeng. bernama: Preanger Bode: nieuws en advertentieblad voor Preanger Regentschappen. Adanya surat kabar di Bandoeng kali pertama diberitakan oleh surat kabar De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad yang terbit di Semarang.

De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 08-07-1896: ‘Priangan Bode’. Surat kabar ini adalah yang pertama di Priangan yang dieditori oleh JHLE. van Meeverden di Bandung akan muncul dengan penerbit dan administrator JR. De Vries & Co (Bandoeng). Membayangkan, administrasi dan editorial: telah lama bertanya-tanya mengapa daerah ini belum diwakili oleh berkala. Secara umum, pendapat kuat bersama, warga akan mendapat kesempatan percaya bahwa sekarang waktunya telah datang ke sini untuk menerangi Priangan dengan mingguan sederhana namun menjadi penting dan untuk menumbuhkan Insulinde di tahun tahun depan yang menjadi semakin jelas bahwa wilayah ini akan menjadi bagian yang paling penting. Industri pertanian berkembang di dalam sembilan distrik di bawah asisten residensi, itu baik dengan bertaruh sebagai peningkatan yang terjadi di wilayah baru (terutama Garut dan Sukabumi), perkembangan pesat dari ibukota Bandung dengan masuknya beberapa pejabat dan orang pribadi (swasta); pembentukan kamp di Tjimahi, di mana dalam beberapa bulan dengan kekuatan 3000-4000 tentara akan ditempatkan yang semuanya memberi hak dan menduga bahwa Preanger akan menjadi pusat yang saat ini masyarakat ETI masih sedikit dan pembangunan akan menjadi tumbuh yang tidak ditemukan di daerah lain di Hindia Belanda, yang memberi kita keyakinan bahwa surat kabar bersinar. Akhirnya dengan melakukan itu Preanger Bode sesegera mungkin akan lebih baik menjadi dua kali seminggu dalam format ganda, jika memang surat kabar ini diterima dengan baik’.

De Preanger Bode, 27-07-1896 (edisi kelima)
Surat kabar di Bandoeng yang diberitakan tersebut akhirnya terbit. Namun sayang sekali saya belum menemukan edisi pertama. Yang baru ketemu adalah edisi keempat yang terbit pada 27 Juli 1896. Jika memang benar terbit seminggu sekali, maka edisi pertama terbit pada tanggal 6 Juli. Dengan mengacu pada pemberitaan terbitnya Preanger Bode oleh surat kabar De locomotief edisi 08-07-1896, maka surat kabar Preanger Bode sudah terbit dua hari saat berita itu muncul. Dengan demikian, Bandoeng butuh waktu 85 tahun saat surat kabar pertama setelah era Pemerintahan Hindia Belanda terbit yakni Bataviasche koloniale courant 05-01-1810 (edisi pertama).

Beberapa surat kabar daerah yang mendahului surat kabar Preanger Bode adalah: Algemeen Handelsblad, Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie (sejak 1854), Bataviaasch handelsblad, Soerabaijasch handelsblad, Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad (sejak 1859 di Padang), De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad dan Deli Cournat (sejak 1884 di Medan). Setelah Preanger Bode di Medan terbit Sumatra post (tahun 1898).

Pers Berbahasa Melayu

Pers Eropa/Belanda berbahasa Melayu sudah sedemikian marak, dari Surabaya, Semarang, Batavia hingga Padang. Di Surabaya ada Pembrita Baroe, di Semarang ada Pembrita Semarang dan di Batavia ada Pembrita Betawi. Disebut pers Eropa/Belanda, karena semua pemilik dan pengasuh surat kabar berbahasa Melayu tersebut adalah orang Eropa/Belanda. Belum ada orang pribumi, kecuali sekadar pembaca.

Suatu kabar yang mengejutkan di Padang pada tahun 1897. Seorang pribumi diangkat menjadi editor, namanya tidak asing lagi untuk kota Padang. Editor tersebut bernama Dja Endar Moeda, seorang pensiunan guru dan pemilik sekolah swasta di Padang. Dja Endar Moeda sebelumnya pernah menerbitkan novel dan buku-buku umum dan pelajaran sekolah. Bahkan semasih jadi guru sepuluh tahun sebelumnya (1887) Dja Endar Moeda adalah editor majalah pendidikan Soeloeh Pengadjar yang terbit di Probolinggo. Dja Endar Moeda lulus sekolah guru Kweekschool Padang Sidempuan tahun 1884, murid langsung dari Charles Adriaan van Ophuijsen. (sejak 1904 van Ophuijsen mengajar di Universiteit Leiden).

Di Padang terdapat tiga surat kabar berbahasa Belanda dan tiga surat kabar berbahasa Melayu. Ketiga surat kabar berbahasa Melayu tersebut adalah Pertja Barat, penerbit Jatelin & Co, Tjahaja Sumatra Tjahaja, percetakan dan penerbit K. Baumer dan Warta Brita, percetakan dan penerbit R Edwards van Mugeh (lihat Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 08-07-1899)

Dengan pengalaman yang banyak di bidang penulisan, Dja Endar Moeda sangat sesuai sebagai editor di Pertja Barat. Di bawah asuhannya, Pertja Barat tidak bisa disaingi oleh Tjahaja Sumatra dan Warta Berita. Pada tahun 1900 Dja Endar Moeda diberitakan telah mengakuisisi surat kabar Pertja Barat termasuk percetakannya. Ini adalah suatu prestasi yang tidak mudah diraih pribumi dan di seluruh Hindia Belanda belum ada pribumi yang bisa melakukannya.

Dja Endar Moeda tidak terbendung. Pada tahun dimana mengakuisisi surat kabar Pertja Barat, Dja Endar Moeda menerbitkan lagi surat kabar berbahasa Melayu Tapian Na Oeli (di dalam berbagai tulisan disebut berbahasa Batak, itu keliru). Setahun kemudian (1901) Dja Endar Moeda menerbitkan majalah bulanan bernama Insulinde. Pada tahun 1907 menerbitkan surat kabar di Kota Radja (kini Banda Aceh) bernama Pembrita Atjeh. Lalu pada tahun 1910 Dja Endar Moeda di bawah Sarikat Tapanoeli di Medan menerbitkan surat kabar Pewarta Deli.

Surat kabar berbahasa Melayu terus bermunculan. Di Bandoeng, Sinar Priangan (1900). Di Cirebon terbit Pembrita Chirebon tahun 1901 (De Preanger-bode, 11-01-1901). Di Batavia terbit sejumlah surat kabar berbahasa Melayu, seperti Bintang Hindia (editor Clockener Brousson), Taman Sari (F. Wichers), Bintang Batavia (Phoa Tjoen Hoat), Sinar Betawi (1904) yang bertindak sebagai editor Gouw Peng Liang dan Kabar Perniagaan. .

Setelah Dja Endar Moeda, editor pribumi yang muncul ke permukaan  adalah Soetan Maharadja di Padang (1901), kemudian  tahun 1902 di Medan terbit surat kabar berbahasa Melayu pertama Pertja Timor dengan editornya Mangaradja Salamboewe. Di Batavia, tahun 1903 seorang pribumi diangkat sebagai editor surat kabar Pembrita Betawi. Editor tersebut adalah Tirto Adhi Soerjo yang menggantikan posisi Wich Bram (yang mana sebelumnya Bram adalah editor Sumatra post di Medan). Dengan demikian, hingga tahun 1903 sudah ada empat editor surat kabar yang berasal dari pribumi. Ini menunjukkan editor sudah terdistribusi merata di antara orang Eropa/Belanda, Tionghoa dan pribumi.

Diantara empat editor pribumi pertama ini dua diantaranya berasal dari afd. Mandailing dan Angkola yang sama-sama alumni Kweekschool Padang Sidempuan, Dja Endar Moeda lulus tahun 1884, sedangkan Mangaradja Salamboewe lulus tahun 1893. Mangaradja Salamboewe adalah anak Dr. Asta (siswa pertama dari luiar Jawa yang diterima di Docter Djawa School, 1855). Mangaradja Salamboewe meninggal tahun 1908 dan sebagai pengantinya di Pertja Timor adalah Sutan Parlindoengan, seorang senior, mantan guru mereka di Kweekschool Padang Sidempuan, kolega Charles Adrianvan Ophuijsen sesama pengajar. Setelah Pertja Timor ditutup tahun 1912, Sutan Parlindungan ditunjuk menjadi editor Pewarta Deli (surat kabar yang didirikan oleh mantan muridnya, Dja Endar Moeda).

Di Batavia persaingan surat kabar berbahasa Melayu sangat dinamis. Hilang satu muncul tiga. Surat kabar Sinar Betawi yang terbit pertama kali tahun 1904 tidak terdeteksi lagi sejak 1906. Sementara surat kabar Pembrita Betawi yang terbit pertama kali tahun 1885 masih eksis namun terakhir kali terdeteksi tahun 1909. Surat kabar Pembrita Betawi setelah  24 tahun melayani pembaca di Batavia harus ditutup. Namun demikian, surat kabar Pembrita Betawi terdapat hal yang khusus dengan editor Tirto Adhi Soerjo. Meski Tirto tidak lama di Pembrita Betawi tetapi Pembrita Betawi adalah awal mula karirnya di bidang pers.

Tirto Adhi Soerjo kemudian menerbitkan surat kabar berbahasa Melayu yang diberi nama Medan Prijaji. Nama Medan Prijaji diduga mengambil nama dari Medan Perdamaian, suatu organisasi sosial yang bersifat nasional yang didirikan Dja Endar Moeda di Padang pada tahun 1902 (Dja Endar Moeda bertindak sebagai direktur). Medan Perdamaian bergerak di bidang sosial, pembangunan pertanian rakyat dan pendidikan. Pada tahun 1903 Medan Perdamaian memberi bantuan untuk pembangunan sekolah di Semarang. Medan Perdamaian adalah organisasi pribumi pertama jauh mendahului adanya organisasi sosial Boedi Oetomo. Organisasi Boedi Oetomo dan Indisch Vereeniging sama-sama didirikan tahun 1908. Organisasi Boedi Oetomo bersifat kedaerahan sedangkan Medan Perdamaian (Dja Endar Moeda) dan Indisch Vereeniging (Soetan Casajangan) sama-sama bersifat nasional. Medan Perdamaian memiliki cabang hingga ke Batavia.

Pers Pribumi Berbahasa Belanda

Untuk menjadi editor pribumi tidak mudah dan yang berhasil tidak seberapa. Demikian juga untuk memiliki surat kabar sendiri juga tidak mudah dan hanya seberapa. Bagaimana dengan kepemilikan dan menjadi editor surat kabar berbahasa Belanda? Ternyata ada pribumi yang melakukannya.

Bagi pribumi untuk menerbitkan surat kabar berbahasa Belanda bukanlah demi gengsi atau perjuangan kelas, melainkan untuk menyebarluaskan pemberitaan dan menyampaikan pemikiran bagi pembaca yang tidak bisa berbahasa Melayu. Ke dalam daftar ini juga termasuk pembaca pribumi High Class yang selamai ini selalu membaca surat kabar berbahasa Belanda. Yang lebih penting pemerintah lebih cepat memahami dinamika yang terjadi di masyarakat (kebutuhan dan protes) dari sudut pandang pribumi.

Di Padang, pada tahun 1904 Dja Endar Moeda mengakuisisi surat kabar Sumatra Nieuwsblad. Awalnya Dja Endar Moeda yang bertindak sebagai editor. Namun karena kesibukannya melebarkan jaringan medianya ke Sibolga, Banda Atjeh dan Medan terpaksa didelegasikannya kepada adiknya Dja Endar Bongsoe (mantan guru, alumni Kweekschool Padang Sidempuan).

Dja Endar Moeda adalah pendidik sekaligus pejuang. Dja Endar Moeda mantan guru, pengarang buku umum dan buku pelajaran sekolah dan juga buku novel.  Dja Endar Moeda adalah perintis pers pribumi, pemilik percetakan dan masih aktif editor. Pernah dikatakannya guru dan pers sama pentingnya, sama-sama mencerdaskan bangsa. Dja Endar Moeda sadar dengan persatuan dan membangun bangsa hanya dapat dilakukan dengan bersarikat. Dja Endar Moeda juga kerap mengkritik pemerintah yang lalai memperhatikan penduduk. Dja Endar Moeda berani berpolemik dengan pers Eropa/Belanda. Dalam berpolemik seperti kasus Transvaal (1899), Dja Endar Moeda mengirimkan berkali-kali artikelnya ke surat kabar berbahasa Belanda Sumatra Coutant yang terbit di Padang  untuk menyerang insan pers Eropa/Belanda yang pro Transvaal di Afrika Selatan, sementara Dja Endar Moeda menganggap penduduk pribumi yang miskin lebih penting dibantu dan ditingkatkan kesejahteraannya, Kini (1904) Dja Endar Moeda telah memiliki surat kabar berbahasa Belanda yang dapat lebih efektif menyuarakan pemikiran dan protes-protesnya. Pada tahun 1907, Dja Endar Moeda terkena delik pers. Dja Endar Moeda dihukum cambuk dan diusir dari Padang. Lalu semua medianya ditangani adiknya di Padang, sementara Dja Endar Moeda pindah ke Medan dan Banda Aceh.

Pribumi yang memiliki surat kabar berbahasa Belanda baru terjadi tahun 1827 di Batavia (dua puluh tiga tahun sejak Dja Endar Moeda). Pemilik surat kabar berbahasa Belanda di Batavia tersebut adalah Parada Harahap. Motif Parada Harahap sama seperti Dja Endar Moeda, yakni beberapa tahun sebelumnya Parada Harahap terlibat berpolemik dengan pers Eropa/Belanda. Parada Harahap menulis artikelnya di surat kabar Java Bode.

Dua kota terbesar di Sumatra tempo doeloe (1875-1880)
Parada Harahap adalah pejuang pers paling revolusioner. Mengawakili karir di bidang jurnalistik pada usia 17 tahun sebagai editor Benih Mardeka di Medan (1918). Pada tahun 1919 mendirikan surat kabar Sinar Merdeka di kampong halamannya di Padang Sidempuan. Di kota ini Parada kerap terkena delik pers dan beberapa kali dibui. Pada tahun 1923 Parada Hijarah ke Batavia dan mendirikan surat kabar Bintang Hindia (1923), kantor berita Alpena (1925) dengan merektur WR Supratman (pencipta lagu Indonesia Raya) sebagai wartawan dan merangkap editor, mendirikan surat kabar Bintang Timoer (1926). Parada Harahap juga mendirikan sarikat wartawan pribumi, mendirikan sarikat pengusaha pribumi di Batavia (semacam Kadin masa ini). Pada tahun 1927 mengajak MH Thamrin mendirikan supra organisasi untuk mempersatukan semua organisasi kebangsaan seperti Kaoem Betawi, Pasundan, Boedi Oetomo, Sumatranen Bond, Bataksch Bond dan sebagainya. Supra organisasi ini disebut PPPKI (Permoefakatan Perhimpoenan-Perhiompoenan Kebangsaan Indonesia). Ketau PPPKI adalah MH Thmarin dan Parada Harahap sebagai sekretaris dengan kantor di Gang Kenari (kini Gedung MH Thamrin).

Tokoh-Tokoh Pers Nasional

Pers pribumi terus berkembang seiring dengan perkembangan jaman (kebangkitan bangsa, pergerakan politik dan hingga kemerdekaan RI). Tokoh-tokoh pers semakin banyak tidak hanya sang pionir Dja Endar Moeda (1987) tetapi jumlahnya sudah begitu banyak. Namun diantara tokoh-tokoh pers nasional tersebut hanya beberapa orang yang kiprahnya dikutip oleh media berbangsa asing (berbahasa Belanda dan Inggris). Saya coba mengitung hasil entri dari nama-nama tokoh pers nasional yang disebut pers asing: peringkat pertama Adam Malik, Mochtar Lubis dan Parada Harahap.

Tokoh-tokoh pers Indonesia, sejak 1897
Namun dugaan saya keliru. Tirto Adhi Soerjo yang hidup sejaman dengan Dja Endar Moeda dan Mangaradja Salamboewe ternyata peringkat pertama adalah Dja Endar Moeda (67 entri), sedangkan Tirto Adhi Soerjo hanya 18 entri. Mangaradja Salamboewe hanya delapan entri, hal ini dimaklumi karena kiprahnya di pers cukup singkat, enam tahun (mulai tahun 1902 di Pertja Timor di Medan dan meninggal tahun 1908). Untuk skor entri tinggi bagi Adam Malik, karena dari pers dia bergerak ke birokrasi hingga (menteri Perdaganganm menteri luar negeri). Kelak Adam Malik menjadi Wakil Presiden (trio pembentuk Orde Baru)

Parada Harahap telah meninggal dunia di Jakarta  11 Mei 1959. Dja Endar Moeda meninggal tahun 1926 (jarak 33 tahun). Dja Endar Moeda pelopor pers pribumi modern (1897). Parada Harahap meneruskan perjuangan Dja Endar Moeda. Parada Harahap telah mempelopori organisasi jurnalis pribumi sejak tahun 1918. Namun namanya tidak tercatat dalam Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Karena yang menjadi ketua pertama kali PWI (di era kemederkaan RI) adalah Adinegoro. Sejarah organisasi wartawan Indonesia dipenggal hanya mulai tahun 1949.

Adam Malik, pendiri kantor berita Antara (pendiri orde baru)
Adinegoro memulai karir jurnalistik di surat kabar Bintang Timoer di Batavia setelah pulang studi jurnalistik di Eropa tahun 1929. Parada Harahap merekrut Adinegoro karena Parada Harahap disibukkan oleh urusan politik sejak 1927 (berdirinya PPPKI yang digagas oleh Parada Harahap) dan pada tahun 1930 pergerakan politik semakin hangat. Pada tahun 1930 Abdullah Lubis pemimpin surat kabar Pewarta Deli datang dari Medan ke Batavia meminta Parada Harahap untuk mengisi lowongan ediotor yang ditinggalkan editornya. Parada Harahap merekomendasikan Adinegoro. Lalu Adinegoro berangkat ke Medan untuk menjadi editor Pewarta Deli (hingga terjadinya pendudukan Jepang). Pada tahun 1933 Parada Harahap lalu memimpin tujuh orang Indonesia pertama ke Jepang, karena sudah gerah dengan penindasan colonial Belanda. Dalam rombongan ini terdapat Abdullah Lubis, wartawan revolusioner dari Medan, bos dari Adinegoro. Salah satu pemuda revolusioner yang baru lulus sarjana ekonomi dari Belanda yakni M. Hatta (kelak menjadi wakil presiden). Satu lagi adalah seorang guru yang juga revolusioner yang berasal dari Bandoeng.  

Jika mundur ke belakang, sejarah pers Indonesia hanya dicatat sejak 1908 ketika Medan Prijaji, pimpinan Tirto Adhi Soerjo dicatat sebagai badan hukum di kantor pemerintahan colonial. Padahal Dja Endar Moeda sejak 1900 sudah menjadi pemilik koran Pertja Barat dan sekaligus percetakannya. Sejarah pers Indonesia juga dipenggal hanya batas sejarah ketika Tirto Adhi Soerjo mendirikan surat kabar Medan Priajaji (1910).

Setali tiga uang dengan yang dialami oleh juniornya Soetan Casajangan yang sama-sama alumni Kweekschool Padang Sidempoean. Soetan Casajangan adalah penggagas dan pendiri perhimpunan pelajar pribumi di negeri Belanda pada tahun 1908 yang disebut Indisch Vereeniging. Pada tahun 1922, M. Hatta mengubahnya menjadi Persatuan Pelajar Indonesia (PPI). Sejarah organisasi pelajar hanya dipenggal sejak didirikannya PPI.

Mochtar Lubis gelar Raja Pandapotan Sibarani Sojuangon dalam pers internasional Indonesia tidak diakui karena sub pers internasional tidak pernah disinggung dalam sejarah pers nasional maupun sejarah perjalanan organisasi wartawan Indonesia. Mungkin dapat dicari alasan sehingga tidak perlu dicatat sebagai bagian pers nasional, karena pers internasional bukan bagian dari pers pribumi. Padahal Mochtar Lubis adalah perintis pers internasional di Indonesia.

Dalam konteks pers internasional di Indonesia, sesungguhnya sudah hadir sejak 1905. Adalah Dja Endar Moeda di Padang orang pribumi yang memiliki koran berbahasa asing. Nama koran berbahasa Belada milik Dja Endar Moeda adalah Sumatraasch Nieuwsblad. Nama Koran yang sama juga diterbitkan Dja Endar Moeda di Medan tahun 1906. Orang kedua pribumi yang menerbitkan koran berbahasa asing adalah Parada Harahap tahun 1930. Nama koran yang terbit di Batavia tersebut bernama Volkscourant. Parada Harahap juga memiliki koran berbahasa asing bernama Java Bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie. Koran ini sudah beberapa kali berpindah tangan sejak pertamakali didirikan 1852. Di era Belanda dibeli oleh seorang Tionghoa, teman dekat Parada Harahap. Namun pada masa pendudukan Jepang Koran ini dilarang beredar. Pada masa Belanda kembali koran ini terbit kembali. Lalu pada pasca pengakuan kedaulatan RI, koran ini dibeli oleh Parada Harahap. Artikel ini banyak mengutip berita-berita dari Java Bode. Koran kepemilikan pribumi ini dilarang pemerintah terbit tahun 1958 karena alasan politik yang waktu itu hubungan Indonesia-Belanda semakin meruncing sehubungan dengan pembebasan Irian Barat. Padahal pada waktu itu Java Bode (berbahasa Belanda) ibarat Jakarta Post (berbahasa Inggris) pada masa kini).

Tokoh pers: Dja Endar Moeda, Parada Harahap, Mochtar Lubis
Untuk soal keberanian apakah ada yang mampu menandingi Mochtar Lubis di eranya atau sesudahnya? Sulit menemukannya. Adalah Gunawan Harmoko yang menjamin keberanian Mochtar Lubis di eranya. Gunawan adalah wartawan Indonesia Raya yang kala itu ikut membongkar kasus korupsi, member kesan terhadap keberanian Mochtar Lubis: Bang Mochtar Lubis orang yang luar biasa, orang besar dalam dunia pers. Sampai sekarang di antara orang-orang pers yang sudah meninggal dan masih hidup, tidak ada yang lebih hebat daripada Mochtar Lubis’. Wartawan pemberani sebelumnya apakah ada? Ada, hanya dua orang.

Pertama, Mangaradja Salamboewe. Editor kedua pribumi di Pertja Timor yang terbit di Medan (setelah Dja Endar Moeda editor pertama di Pertja Barat). Mangaradja Salamboewe adalah seorang mantan jaksa yang enjadi wartawan. Mangaradja Salamboewe menjadi editor Pertja Timor antara tahun 1903-1908. Menurut pengakuan wartawan Eropa/Belanda dapat dibaca dalam koran Sumtra Post yang dikutip juga oleh Bataviaasch nieuwsblad mengakui bahwa Maharadja Salamboewe memiliki pena yang tajam dan memiliki kemampuan menulis yang jauh lebih baik dibanding wartawan-wartawan pribumi yang ada. Hebatnya lagi, masih pengakuan koran ini, Maharadja Salamboewe selain sangat suka membela rakyat kecil, Maharadja Salamboewe juga sering membela insan dunia jurnalistik baik wartawannya maupun korannya. Kami juga respek terhadap dia, demikian diakui oleh koran Sumatra Post yang juga diamini oleh Koran Bataviaasch nieuwsblad. De Sumatra post edisi 29-05-1908 ketika memberitakan kematian wartawan pemberani ini. Dalam berita koran ini, editor juga mengungkapkan rasa duka cita yang dalam, karena Maharadja Salamboewe tidak hanya membela rakyatnya tetapi juga dunia jurnalistik (yang sebagian besar wartawan pada waktu itu berbagsa Belanda/Eropa). Editor ini melanjutkan bahwa  "Di dalam seratoes orang pribumi tidak ada satoe yang begitoe brani’.

Kedua, Parada Harahap adalah wartawan sesudah Mangaradja Salamoewe yang tidak hanya tajam dalam berita dan tulisan tetapi juga berani menghadap langsung pejabat yang dianggapnya tidak adil dan menyengsarakan rakyat. Parada Harahap karena keberaniannya sebanyak 101 kali dipanggil ke sidang meja hijau dan belasan kali diantaranya dipenjara.

Apakah lalu dengan demikian kebebasan pers itu nyata? Bukankah pengertian kebebasan pers sama dengan orisinalitas atau apa adanya? Lalu apakah para wartawan Indonesia tidak memerlukan prinsip cover both side lagi dalam memahami sesuatu? Hanya para wartawan yang maha mengetahuinya. Saya bukan siapa-siapa? Saya hanya geli setelah dengan mata terang benderang melihat semuanya di era teknologi informasi modern ini. Good news, bad news kini menjadi bad news, good news.

Pikiran Rakyat Bandung dan Sakti Alamsyah

Diantara tokoh-tokoh pers nasional masih ada satu lagi yang bernama Sakti Alamsyah. Tidak banyak orang tahu masa kecil Sakti Alamsyah, tetapi orang Jawa Barat hanya mengenal Sakti Alamsyah melalui suaranya. Ceritanya bermula ketika masa-masa awal revolusi kemerdekaan nama Sakti Alamsyah dikenal sebagai penyiar RRI. Sakti Alamsyah termasuk penyiar yang sangat disukai para pendengarnya. Boleh jadi para pendengarnya tidak banyak yang tahu bahwa Sakti Alamsyah juga terkenal di kalangan dunia musik sebagai pencipta lirik lagu yang andal.

Sakti Alamsyah, seorang guru, seorang orang tua, dan seorang pahlawan bangsa. Sakti Alamsyah, nama lengkapnya Sakti Alamsyah Siregar gelar Patuan Sojuangon lahir di Sungai Karang, Sumatera Utara 27 Januari 1922. Ayahnya Sutan Kamala Martua Siregar berasal dan meninggal dunia di Desa Parau Sorat, Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan.

Pada masa itu, kiprah fenomenal Sakti Alamsyah ketika membacakan teks proklamasi yang dapat didengar publik melalui Radio Bandung (cikal bakal RRI Bandung). Anehnya, ketika Sakti Alamsyah memulai membaca teks proklamasi tersebut, beliau justru memulainya dengan pengantar sebagai berikut: “Di sini Radio Bandung, siaran Radio Republik Indonesia...". Padahal waktu itu belum lahir Radio Republik Indonesia alias RRI. Pembacaan teks proklamasi oleh Sakti Alamsyah dilakukan tepat pada tanggal 17 Agustus 1945 pukul tujuh malam. Teks proklamasi yang dibaca Sakti Alamsyah tersebut kemungkinan besar  diperoleh dari Radio Jakarta yang sudah terlebih dahulu memperoleh salinannya dari Adam Malik yang waktu itu beliau menjadi pemimpin Kantor Berita Antara. Pertanyaannya: Mengapa justru Radio Bandung yang berani menyiarkannya?

Selain itu, teks yang dibacakan Sakti Alamsyah—yang pada waktu itu Sakti Alamsyah masih berumur 23 tahun—ada perbedaan kecil dalam teks proklamasi yang disiarkan Sakti dengan teks sebagaimana dibacakan Soekarno di Pegangsaan Timur, Jakarta. Sakti Alamsyah justru menutupnya dengan kalimat "Wakil-wakil Bangsa Indonesia, Soekarno-Hatta". Padahal, Bung Karno membacakannya dengan kalimat yang jelas terdengar "Atas Nama Bangsa Indonesia, Soekarno-Hatta". Tidak ada yang mengetahui dengan pasti bagaimana asal muasal perbedaan teks dan yang dibacakan Soekarno dengan apa yang disuarakan Sakti Alamsyah Siregar.

Pengucapan ‘Radio Republik Indonesia’ untuk menamai diri dalam pengantar siaran, Sakti Alamsyah justru mengabaikan nama yang selama ini diucapkan dengan ‘Radio Bandung Hoshokyoku’. Sekalipun hari itu proklamasi sudah dikumandangkan, tetapi kenyataannya bentuk negara belum disepakati. Para pemerhati, menganggap ucapan Sakti Alamsyah sebagai pernyataan futuristik dari lubuk hgati dirinya. Padahal negara baru Indonesia justru setelahnya diputuskan berbentuk republik yang notabene juga nama radio nasional baru ditetapkan kemudian persis seperti yang diucapkan pertama kali oleh Sakti Alamsyah: “Di sini Radio Bandung, siaran ‘Radio Republik Indonesia’...".

Kita harus akui bahwa inisiatif para pekerja khususnya penyiar Radio Bandung Hoshokyoku, Sakti Alamsyah, untuk menyuarakan teks proklamasi di udara yang dapat didengar semua publik jelas-jelas  seuatu  keputusan yang berani. Tidak hanya sampai di situ para penyiar Radio Bandung Hoshokyoku tanpa rasa takut terus berulang-ulang menyiarkan naskah proklamasi itu setiap kali ada kesempatan untuk dibacakan kembali. Berkat siaran Radio Bandung itu yang dipancarkan dari Jalan Malabar, Bandung kabar kemerdekaan sebuah negara baru bernama Indonesia diketahui khalayak yang lebih luas, yang tak hanya dapat ditangkap di seluruh pelosok nusantara, tetapi juga tetangkap di seluruh  dunia.

Saat Medan masih kampong, Padang Sidempoean sudah kota
Siapa yang melakukan tindakan patriot itu semua. Ternyata tiga orang itu adalah anak asal Padang Sidempuan. Siapa mereka? Mereka adalah tiga pemuda yang profesinya wartawan dan pernah sama-sama bekerja di radio militer di awal pendudukan Jepang di Batavia, yakni: Adam Malik, Mochtar Lubis dan Sakti Alamsjah. Hanya Sakti Alamsjah Siregar yang terus bertahan di radio hingga rekaman isi proklamasi itu disiarkan melalui radio. Sakti Alamsjah adalah orang yang menyiarkan isi rekaman itu dengan memulai kalimat ‘Di sini Radio Republik Indonesia’ (sekali lagi, padahal RRI belum ada). Bagaimana rekaman ini diperoleh itu adalah peran Adam Malik yang turut ‘meminta’ dan ‘menculik’ Soekarno dan Hatta untuk membacakan isi proklamasi di Pegangsaan Timur. Mochtar Lubis menjadi penghubung antara Jakarta-Bandung dimana Mochtar Lubis berangkat ke Bandung dengan kereta api untuk berdiskusi dengan Sakti Alamsjah bagaimana isi proklamasi tersebut dapat disiarkan. Dari banyak radio militer Jepang, Radio Malabar adalah radio paling mudah disusupi karena letaknya di gunung, terpencil, jadi kurang pengawasan. Antara Jakarta dan Bandung bagaikan gayung bersambut, antara Adam Malik, Mochtar Lubis dan Sakti Alamsjah. Mereka bertiga tampaknya mengambil risiko itu. Sakti Alamsjah adalah penyiar pavorit kala itu di udara kota Bandung, selain suaranya yang berat, juga Sakti Alamsjah penulis lirik lagu-lagu dari musisi yang manggung di Radio Bandung (waktu itu musik dilakukan dengan siaran langsung alias live).

Meski ketiga orang ini lahir di tempat yang berbeda tetapi mudah akrab dan kebetulan memiliki jiwa pers yang sama. Adam Malik Batubara kelahiran Pematang Siantar, Simaloengoen asal Huta Tanobato, Mandailing adalah mentor bagi Mochtar Lubis di dunia pers (di Kantor Berita Antara). Mochtar Lubis kelahiran Soengai Penuh, Kerinci, Jambi asal Huta Pakantan, Mandailing ini seumur dengan Sakti Alamsjah kelahiran Sungai Karang, Deli Serdang asal Huta Parau Sorat, Sipirok. Kedekatan Mochtar Lubis dan Sakti Alamsjah karena tugas mereka sebagai wartawan cetak sering melaksanakan tugas ke tempat yang sama.

Setelah beberapa lama menjadi penyiar RRI Bandung, Sakti Alamsyah memulai karir baru dan aktif sebagai wartawan di surat kabar Pikiran Rakyat yang terbit di Bandung. Ketika di dalam organisasi penerbitan tersebut terjadi gejolak internal akibat situasi politik saat itu, Sakti Alamsyah bersama sejumlah karyawan lainnya memisahkan diri dan mendirikan surat kabar baru dengan tetap menggunakan nama surat kabar tempat mereka sebelumnya bekerja yakni Pikiran Rakyat.

Ketika Sakti Alamsjah mendirikan koran Pikiran Rakyat terbit di Bandung,  Mochtar Lubis juga mendirikan koran Indonesia Raya terbit di Jakarta. Motto kedua koran ini persis sama: ‘Dari Rakyat, Oleh Rakyat dan Untuk Rakyat’. Hal serupa ini pernah terjadi doeloe antara koran Pertja Barat di Padang dan koran Pewarta Deli di Medan dengan motto yang sama: ‘Organ Oentoek Segala Bangsa’

Bagi warga Jawa Barat, Sakti Alamsyah Siregar digambarkan sebagai sosok yang wajahnya berciri khas Batak, agak angker, dan seumur hidup beliau memang tidak juga pintar berbahasa Sunda. Tapi, ketika berita kematiannya diberitakan, yang tampak paling kehilangan justru orang Jawa Barat. Sakti Alamsyah meninggal dunia di Banjarmasin 28 April 1983) ketika menjalankan tugas dan jenazahnya dikebumikan di Taman Makaman Pahlawan Cikutra, Bandung. Besoknya, pada tajuk rencana harian Pikiran Rakyat (PR), koran terbesar di Jawa Barat meratapi kepergiannya dengan pernyataan "Pemimpin kami, guru kami, ayah kami, sahabat dan kolega kami, tiba-tiba pergi meninggalkan kita semua.".

Sakti Alamsyah Siregar, rupanya bukan cuma seorang pemimpin umum sebuah surat kabar yang kebetulan besar di daerah, seperti PR tetapi juga ketegasan dan keberaniannya bagaikan guru: mendidik dan membangun. Sejumlah koleganya menganggap Sakti Alamsyah adalah seorang yang  kaya dengan gagasan besar.  Ini bermula di awal tahun 1970-an ketika pers daerah khususnya di wilayah Jawa Barat mengalami masa-masa sulit atas penetrasi surat kabar nasional (Jakarta) merambah ke daerah. Jaringan transportasi dan komunikasi yang semakin membaik menyebabkan koran-koran ibukota mulai terasa menggeser keberadaan koran-koran yang terbit di daerah.

Tapi Sakti Alamsyah, punya resep sakti dengan PR-nya bahwa menghadapi koran-koran Jakarta tidak harus bereaksi dengan semangat berperang, tetapi justru dengan sikap yang proporsional. Sakti Alamsyah menyemangati bawahannya dengan pernyataan "Biar orang pegang koran Jakarta di tangan kanan, kita cukup di tangan kiri”.  Untuk mengantisipasinya, Sakti Alamsyah pun mulai memikirkan dengan memperbesar porsi berita daerah di harian Pikiran Rakyat. Resep skati dari Sakti Alamsyah Siregar diketahui pada akhirnya PR bukan koran tangan kiri lagi tetapi juga telah menjadi koran tangan kanan.

Sakti Alamsyah hingga akhir hayat tetap sebagai wartawan dan pejuang pembangunan, khususnya pembangunan daerah melalui media tulisan. Sakti Alamsyah adalah perintis dan penyiar di RRI Bandung juga menjadi perintis dan pendiri PT. Pikiran Rakyat Bandung. Sakti Alamsyah merupakan tokoh penting peletak dasar Harian Umum Pikiran Rakyat sebagai media massa yang cukup digemari warga Jawa Barat.  Harian Pikiran Rakyat adalah salah satu koran daerah yang mampu tumbuh dan berkembang hingga saat ini.

Sebelum tiba waktunya beliau di panggil yang Maha Kuasa, Sakti Alamsyah tetap bertindak sebagai Direktur PT. Pikiran Rakyat/Pemimpin Umum Harian Umum Pikiran Rakyat. Kini, Pikiran Rakyat Bandung dibawah kepemimpinan anaknya sendiri: Perdana Alamsyah.

Itulah pers Indonesia sejak era kolonial Belanda. Sejak Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda (di Padang) kemudian Hasan Nasoetion gelar Mangaradja Salamboewe, Parada Harahap, Abdullah Lubis, Adam Malik Batubara, Mochtar Lubis hingga Sakti Alamsyah Siregar (di Bandung).

Dirgahayu Hari Pers Nasional tanggal 9 Februari 2017. Ingin menulis Sejarah Pers Indonesia? Jangan lupa sejarah lama.


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar