Minggu, 19 Februari 2017

Sejarah Bandung (27): Peta Bandung Tempo Doeloe; Dari Jalan Setapak Hingga Jaringan Jalan Kota Modern

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bandung dalam blog ini Klik Disini

Kota Bandung yang ada sekarang adalah suatu jaringan jalan kota modern. Jika kita kembali ke masa lampau, sejauh yang masih bisa ditelusuri, di tengah jaringan kota Bandung yang sekarang awalnya hanya ada satu jalan: Yakni jalan setapak yang merupakan jalan penghubung antara Bandoeng (di pertemuan sungai Tjikapoendoeng dengan sungai Tjitaroem) dengan Tjipaganti (di hulu sungai Tjipagantie).

Kota Bandung di tengah bukit barisan, 1920
Peta adalah salah satu bentuk data otentik yang dapat digunakan untuk menyusun sejarah suatu kota. Namun demikian, peta harus didukung informasi lain seperti lukisan/foto dan surat kabar (berita, iklan dan data statistic) atau buku/majalah. Peta-peta kuno, peta awal tumbuhnya kota-kota di Hindia Belanda (baca: Indonesia) dibuat oleh kantor tofografi (yang bekerjasama dengan militer). Sebelum ada peta kota, umumnya terlebih dahulu ada peta wilayah dimana kota itu ada.

Untuk memahami wilayah Preanger dan kota Bandung mari kita telusuri semua peta-peta yang ada ditambah dengan informasi-informasi yang bersumber dari surat kabar dan foto-foto serta surat-surat keputusan Gubernur Jenderal. Tentu saja juga didukung dengan buku-buku yang telah diterbitkan.

Peta-Peta Kuno

Peta 1619 (Portugis)
Peta wilayah tertua Indonesia adalah peta tahun 1619 yang diterbitkan oleh Portugis. Peta ini hanya memuat nama-nama kota di sepanjang pantai dari pulau-pulau besar utamanya Jawa dan Sumatra. Kemudian terbit Peta Jawa dan dalam perkembangannya muncul peta Sumatra. Peta-peta wilayah lebih kecil baru muncul pada era Pemerintahan Hindia Belanda (1800an).

Peta kuno Indonesia merupakan kumulatif dari hasil-hasil pemetaan ekspedisi pelayaran yang dilakukan Portugis. Peta Indonesia buatan Belanda belum ada, yang ada baru peta pulau, Dalam ekspedisi Cornelis de Houtman (1595) sudah muncul pulau Sumatra dan pulau Jawa (Jurnal 1598). Nama-nama tempat yang muncul antara peta pelaut Portugis dan peta pelaut Belanda dalam beberapa hal berbeda: jumlah nama tempat, lokasi dalam peta dan skala nama tempat. Belum ada nama sungai dan nam gunung, tetapi sudah menampilkan pulau-pulau kecil yang dianggap penting.

Peta 1595 (ekspedisi de Houtman/Belanda)
Jurnal Belanda tahun 1598 berjudul: ‘Journael vande reyse der Hollandtsche schepen ghedaen in Oost Indien, haer coersen, strecking hen ende vreemde avontueren die haer bejegent zijn, seer vlijtich van tijt tot tijt aengeteeckent, ...’. Jurnal ini sepenuhnya berisi catatan hari demi hari t6entang ekspedisi yang dilakukan oleh Cornelis de Houtman yang dimulai pada tanggal 2 April 1595.

Data dan informasi dari peta-peta kuno ini tidak cukup. Kita harus menggunakan buku-buku geografi. Buku kuno paling lengkap yang bisa diakses tentang identifikasi nama-nama tempat di dunia (termasuk Sumatra dan Jawa) adalah berjudul ‘Itinerarivm, ofte schipvaert naer Oost ofte Portugaels Indien’ yang terbit di Amsterdam tahun 1614. Buku berbahasa Belanda ini masih dicetak dengan huruf gothiek. Informasi yang lainnya adalah buku Kamus Geografi yang terbit tahun 1710.

Peta Jawa 1755 (Portugis)
Peta-peta Indonesia yang muncul kemudian adalah peta tahun 1750 (Portugis); peta 1753 (Perancis) dan peta 1818 (Belanda). Peta-peta yang telah diterbitkan baik cetakan maupun peta topografinya sudah lebih baik dan presisinya lebih tinggi jika dibandingkan peta-peta kuno (era 1600an). Peta terbitan Belanda tahun 1818 sudah tampak seperti peta masa kini. Sejak 1818 peta Indonesia semakin intens diterbitkan dalam berbagai versi.

Demikian juga dengan peta-peta pulau. Peta Pulau Jawa terbitan 1755 (Portugis) nama Bandoeng sebagai suatu wilayah sudah disebutkan, tetapi sebagai nama suatu tempat belum teridentifikasi. Peta Jawa 1755

Peta Wilayah Buatan Belanda

Peta Indonesia 1818
Peta Indonesia buatan Belanda (dalam bentuk cetakan) boleh jadi merupakan peta yang diterbitkan kali pertama tahun 1818 yang disusun oleh Js. van den Bosch yang digambar oleh C. van Baarsel en Zoon. Sejak munculnya peta van den Bosch ini kemudian muncul peta-peta wilayah yang lebih kecil, seperti peta Pulau Sumatra, peta Pulau Jawa dan peta-peta wilayah yang lebih kecil seperti Province dan Residentie. Yang menarik jika dilakukan perbandingan peta yang diterbitkan Portugis dengan yang diterbitkan Belanda, peta pulau Jawa versi Belanda lebih detail di pantai utara, sementara peta pulau Jawa versi Portugis nama-nama tempat di pantai selatan terbilang lebih lengkap. Boleh jadi ini karena kekuasaan Portugis masih tersisa di Timor.

Peta Indonesia 1817 (Inggris)
Nama-nama tempat di pulau Jawa bagian barat dalam Peta Indonesia 1818 hanya mengidentifikasi empat tempat yakni Batavia, Bantam, Tjirebon dan Crawang. Keempat kota ini berada di pantai utara. Keempat kota ini dicantumkan dalam peta Indonesia diduga karena keempat kota inilah yang menjadi pelabuhan utama untuk mengekspor komoditi pertanian seperti kopi baok oleh Belanda (maupun Inggrsi selama periode 1811-1816). Dari daerah Preanger komoditi menuju tiga pelabuhan: Preanger timur (seperti Sumedang) melalui Tjirebon, Preanger Barat (seperti Tjiandjor) melalui Batavia via Buitenzorg dan Preanger tengah (seperti Bandoeng) melalui Crawang.

Peta Java 1818 (Belanda)
Dalam Peta Jawa 1817 (Inggris) nama-nama tempat di pedalaman sudah teridentifikasi dengan baik. Jalan pos trans-Java yang dibangun di era Daendels (1810) sebelum era Inggris (1811-1815) sudah terpetakan dengan jelas. Nama Bandung sebagai nama tempat sudah teridentifikasi. Nama Bandung juga sebagai wilayah (kabupaten) di wilayah Preangen (peta Belanda menyebutnya Preanger). Peta Java 1818 (Belanda).

Bersamaan dengan Peta Indonesia 1818 (Belanda) juga diterbitkan Peta Java dan Peta West Java (peta van den Bosch). Dalam Peta Java 1818 Bandung sebagai nama tempat sudah teridentifikasi (seperti dalam peta Java 1817 Inggris). Dalam peta 1818 Belanda ini nama Bandung sebagai nama tempat tidak berada di jalan pos trans-Java (melainkan agak ke selatan). Jika dibandingkan dengan Peta West Java (Bantam / Jacatra & Cheribon) 1818 (Belanda) nama Bandung sebagai nama tempat semakin jelas teridentifikasi bahwa Bandung sebagai nama tempat yang berada jauh di selatan jalan pos trans-Java. Nama-nama tempat di jalan pos trans-Java antara lain Baybang, Tjitepos, Tjipagantie dan Bodjongsoang. Namun demikian, meski Bandong berada di selatan, tetapi kedudukannya sudah sama penting dengan Baybang dan Tjiandjoer. Peta West Java 1818

Peta West Java 1818 (Belanda)
Sekali lagi: peta-peta wilayah belum bisa menjamin semua informasi nama tempat sudah dipetakan. Untuk memahami suatu wilayah, peta-peta ini harus ditelusuri dalam berbagai sumber terutama surat kabar dan surat-surat keputusan Gubernur Jenderal baik yang diterbitkan di Batavia maupun di Buitenzorg.

Dengan demikian, nama Bandoeng dicantumkan dalam peta (secara eksplisit) boleh jadi baru ada dalam peta tahun 1818 (peta van den Bosch: peta Java dan peta West Java). Dalam peta West Jawa 1818 teridentifikasi Baybang (kini Radjamandala) dan Tjiandjoer lebih penting dari Bandoeng. Lokasi Bandoeng tidak pada posisi yang sekarang tetapi pada posisi ke arah selatan di pertemuan sungai Tjikapoendoeng dengan sungai Tjitaroem. Jalan sejajar dengan jalan pos trans-Java ini di selatan yang melalui Bandoeng adalah jalan dari Tjinadjoer di sisi selatan sungai Tjitaroem terus menuju Tjitjalengka. Antara Bandoeng (di selatan) dengan jalan pos trans-Java (di utara) dihubungkan oleh jalan setapak dari Bandong ke Tjitepoes.

Peta Java 1840
Dalam Peta Java (1840) terdapat perubahan besar jika dibandingkan dengan Peta West Java (1818), Dalam peta baru ini, Bandong telah menjadi kota penting dan lebih utama dibandingkan dengan Baybang. Akan tetapi kota Tjiandjoer menjadi kota utama di Preanger. Hal ini karena Tjiandjoer adalah ibukota (hoofdplaats) Preanger Regentschappen. Yang terbilang baru dalam Peta 1840 ini, jalan pos trans-Java ruas Baybang-Sumadang telah bergeser ke arah selatan (dari area yang lebih tinggi ke area yang lebih rendah) dengan titik belok di Tjimahie, Sementara itu, Bandoeng sebagai nama tempat yang awalnya berada di selatan (pertemuan sungai Tjikapoendoeng dengan sungai Tjitaroem) sudah berada di jalan pos trans-Java yang baru. Nama Bandong sebagai nama tempat yang dulu telah berganti nama menjadi Bandoeng Kolot (juga disebut Dayeuh Kolot). Peta Java 1840..

Pemindahan tempat tinggal Bupati dari Bandoeng (lama) atau Dayejuh Kolot ke Bandoeng (baru) tempat controleur dikaitkan dengan sistem budidaya kopi  (koffiestelsel). Budidaya kopi ini dimulai pada tahun 1830 setehaun setelah controleur ditempatkan di abdnoeng tahun 1829 yang beribukota di Bandoeng (baru). Setelah beberapa tahun dari penanaman kopi mulai menghasilkan dan puncaknya tahun 1845 dan kemudian menurun pada tahun 1850 (lihat De Koffiecultuur op Java, 1911). Pada saat puncak kopi ini kantor bupati baru dibangun di Bandoeng (baru) dekat kantor controleur. Sejak tahun 1846 Bupati secara resmi masuk dalam pemerintahan Hindia Belanda dan pindah ke Bandoeng (baru) dan menempati kantor/rumah baru. Dari sinilah muncul istilah Istana Baru (Astana Anyar) yang kemudian menjadi nama lingkugan Astana Anyar.

Selang 20 tahun terakhir (Peta 1818 dan Peta 1840) di Preanger sudah banyak berubah. Hal ini dimulai penempatan controleur di Bandoeng sejak 1829. Pada tahun inilah kota Bandung yang sekarang mulai terbentuk. Setelah beberapa tahun kemudian Bupati Bandoeng yang awalnya berada di Bandoeng Kolot (Dajeuh Kolot) secara permanen pindah ke Bandoeng Baroe (tempat dimana controleur berada). Bupati Bandoeng sebagai bagian dari pemerintah Hindia Belanda secara resmi akan dimulai pada tahun 1846. Meski Bupati belum pindah dari tempat yang lama (Bandoeng Kolot) tetapi Controleur sudah eksis (Bandoeng Baroe), informasi dalam Peta 1840 sudah merelokasi nama Bandoeng sebagai nama tempat: Bandoeng (lama) sebagai Dajeuh Kolot dan Bandoeng (baroe) sebagai ibukota regenschap (Kabupaten) Bandoeng yang baru. Hal yang lebih penting lagi, di dalam Peta 1840 terutama di daerah selatan, jalan-jalan baru telah terbentuk terutama yang menghubungkan antara satu tempat dengan tempat yang lain. Hal ini dikaitkan dengan pengembangan wilayah perkebunan (yang awalnya terkonsentrasi di sekitar jalan pos trans-Java utamanya di Radjamandala dan Odjoengbrong. Catatan: perkebunan di Radjamandala adalah perluasan dari Tjiandjoer/Buitenzorg; perkebunan di Odjoeng brong adalah perluasan dari Sumadang/Tjirebon. Pada tahap berikutnya perkembunan akan sangat intensif antara Radjamandala dan Odjoengbrong baik ke utara (hingga Tangkoebanprahoe) maupun ke selatan (hingga Malabar). 

Bupati Bandoeng mendapat istana baru (astana anyar) tentu saja tidak gratis (dalam bahasa Belanda ‘tidak ada makan siang gratis’). Pembuatan istana (kantor/rumah Bupati) tidak murah. Ini di satu sisi sepintas seakan pemberian hadiah tetapi di sisi lain, pengeluaran itu semua sudah diperhitungkan dengan potensi penerimaan yang akan diterima oleh Pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah mengekspektasi produksi akan terus meningkat (dengan harga yang terus meningkat) maka penerimaan akan meningkat. Penerimaan ini terus membengkak, karena di satu sisi Bupati harus bekerja keras untuk mencapai target produksi pada level tertentu dan di sisi lain karena upah yang rendah dan tidak naik. Jika terjadi pemberontakan itu manjadi urusan Bupati. Jadi Bupati dalam posisi ‘digantung’: sudah mendapat hadiah tetapi ikut menyengsarakan penduduk (De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 31-07-1867). Itulah praktek tanam paksa di Bandung dan Preanger.

Apa yang terjadi di Bandung dan Preanger terulang kemudian di Angkola dan Mandailing. Prosesnya sangat mirip. Pada tahun 1839 semua pimpinan local di afdeeling Mandailing dan Angkola tentang budidaya kopi. Pada tahun 1840 dibentuk pemerintahan dimana di Panjaboengan ditempatkan Asisten Residen dan controleur masing-masing di Angkola dan Pakantan.  Untuk memulai budidaya kopi (stelsel). Pada tahun 1843 terjadi pemberontakan sebagian penduduk (dan melakukan eksodus) dan Edward Douwes Dekker, Controleur menjadi tempat mengadu lalu Edward mengavokasi masyarakat (karena itu Edward dipecat Gubernur Jenderal). Meski begitu tanam paksa kopi terus berlangsung dibawah kontrak-kontrak yang dilakukan para pemimpin lokal dengan pemerintah.

Dalam perkembangan lebih lanjut, ternyata produksi kopi memuaskan dan harga kopi Mandailing dan kopi Angkola terus meningkat di pasar dunia. Pemerintah tidak memberi imbalan berupa istana bagi para pemimpin (karena system pemerintahan adat berbeda dengan di Jawa dan di Preanger). Pemerintah pada tahun 1854 mengirim dua siswa satu dari Angkola dan satu orang dari Mandailing untuk studi kedokteran di Batavia. Kemudian, pada tahun 1857 pemerintah mengabulkan permintaan beasiswa untuk Willem Iskander yang sudah berada studi keguruan di Belanda. Ini juga tidak gratis, ada dialektika. Pengeluaran pemerintah untuk sekolah kedokteran dan sekolah keguruan untuk putra-putra Mandailing en Angkola diperhitungkan dari potensi ekonomi kopi yang terus membaik di Mandailing dan Angkola.

Setelah pulang studi Willem Iskander lalu mendirikan sekolah guru di Tanobato, Mandailing tahun 1862 dan pada tahun 1864 diakuisisi pemerintah sebagai sekolah guru negeri. Setelah melihat sukses sekolah guru di Mandailing en Angkola, pada tahun 1864 pemerintah membangun sekolah guru di Bandung dengan bangunan yang sangat megah. Sekolah guru di Bandung ini dibuka pada tahun 1866.

Peta Wilayah di Sumatra

Peta Sumatra's Westkust 1930
Setelah di Jawa, Pemerintah Hindia Belanda melakukan invasi ke Sumatra yang dimulai dari pangkal di selatan (Lampong) hingga ke ujung di utara (Atjeh). Namun dalam pembuatan peta (cetakan) yang dilakukan pertama justru adalah pembuatan peta Sumatra’s Westkust (Pantai Barat Sumatra) yang terbit tahun 1830, kemudian menyusul pembuatan peta Tapanoeli yang terbit tahun 1852. Peta Sumatra sendiri baru dibuat kemudian dan terbit pada tahun 1862.

Peta adalah istrumen penting dalam kerja colonial. Peta adalah bahan dalam perencanaan penguasaan (pendudukan) dan dalam perencanaan pengembangan perdagangan dan ekonomi (tujuan utama rezim colonial). Peta detail merupakan kontribusi para controleur dan militer. Pembuatan peta detail adalah bagian dari tupoksi para controleur. Akumulasi dari peta-peta detail ini yang diperkaya oleh badan topografi maka muncul peta wilayah yang lebih luas dan diterbitkan untuk semua pihak: pemerintah, militer, wisatawan dan tentu saja penduduk local. Peta Sumatra’s Westkust 1830

Peta Tapanoeli 1852
Pembuatan peta (detail) dapat diinterpretasi sebagai ukuran penting tidaknya suatu wilayah bagi pemerintah. Semakin rinci peta yang dibuat yang dipublikasikan maka wilayah tersebut dapat dikatakan sebagai wilayah penting (secara ekonomi) dan mendapat prioritas dalam perencanaan nasional: pemerintahan (birokrasi), ekonomi (kesuburan pertanian dan sumberdaya alam) dan sosial (kerjasama) yang berbasis penduduk. Semakin besar jumlah penduduk yang dikombinasikan dengan potensi sumberdaya alam yang tersedia maka semakain penting wilayah tersebut. Oleh karena itu pembuatan peta menjadi prioritas. Peta Tapanoeli 1852

Oleh karena itu dapat dipahami pembuatan peta Sumatra’s Westkust (awalnya masih termasuk wilayah Tapanoeli) dan peta Tapanoeli (Mandailing en Angkola, Natal, Sibolga dan Baros) karena memiliki sumberdaya alam yang potensial dan kepadatan penduduk yang tinggi. Komoditi utama yang tengah berkembang adalah kopi (ekspor).

Padang Sidempuan, Peta 1852
Di dalam peta Tapanoeli 1852 sudah teridentifikasi Padang Sidempuan sebagai nama tempat utama di pedalaman. Jalan pos trans-Tapanoeli sudah diundangkan pada tahun 1851 nama secara fisik pembangunannya belum sepenuhnya selesai. Jalan pos trans-Tapanoeli ini adalah perluasan jalan pos trans-Sumatra’s Westkust. Dengan demikian sebagian jalan pos tans-Sumatra sudah terpetakan mulai dari Padang, Fort de Kock (kini Bukittinggi), Kotanopan, Panjaboengan, Padang Sidempuan, Batangtoru hingga Sibolga.

Jalan pos trans-Sumatra (ruas Sumatra’s Westkust plus Tapanoeli) dilakukan secara bertahap yang mana media waktu pada tahun 1851. Sedangkan jalan pos trans-Java secara simultan dilakukan di Jawa (mulai dari Anjer hingga Panaroekan) pada tahun 1811 (diundangkan pada tahun 1810). Ini berarti ada perbedaan waktu selama 40 tahun. Di Preanger secara resmi pemerintahan dibentuk pada tahun 1811 (surat keputusan Gubernur Jenderal) dengan menempatkan asisten residen di Tjiandjoer. Di Mandailing en Ankola (masih menjadi bagian dari Sumatra’s Weestkut) pemerintahan secara resmi dibentuk pada tahun 1840 (surat keputusan Gubernur Jenderal) dengan menempatkan asisten residen di Panjaboengan. Controleur ditempatkan di Bandoeng tahun 1829; controleur ditempatkan di Padang Sidempuan tahun 1840. Oleh karena kota Padang Sidempuan dan kota Bandoeng dibangun ditempat yang baru (dengan mengadopsi nama kampong lama) maka dua kota ini memulai sesuatunya hanya berbeda waktu selama 11 tahun. Dengan kata lain, dua kota (baru) ini dapat dianggap sebagai dua kota yang pada fase awal tumbuh dan berkembang pada waktu yang relative bersamaan. Kesamaan lain kedua kota ini adalah sama-sama pusat perekonomian kopi.

Pada saat Medan masih kampung, Padang Sidempuan sudah kota
Catatan: Bagi pembaca mungkin sedikit mengganggu apa hubungannya Sejarah Bandung dengan menyelipkan diantaranya sejarah Padang Sidempuan. Bukan karena saya berasal dari Padang Sidempuan yang tengah menulis Sejarah Bandung. Akan tetapi hal itu dimaksudkan sebagai studi komparatif yang tengah saya lakukan dalam memahami sejarah ekonomi Indonesia. Saya sesungguhnya sudah selesai mempelajari Sejarah Padang Sidempuan, dan kini mempelajari Sejarah Bandung. Dalam kerangka yang lebih besar saya tengah mempelajari sejarah ekonomi di Sumatra dan sejarah ekonomi di Jawa. Dalam hubungan tersebut, saya hanya batasi (Sumatra dan Jawa) karena memiliki kesamaan (dan mudah dikomparasi). Sejarah ekonomi Sumatra saya mengambil kasus Padang-Sibolga via Padang Sidempuan yang diperluas ke Medan (Sumatra’s Oostkust). Untuk sejarah ekonomi Jawa saya mengambil kasus Batavia-Chirebon via Bandoeng yang diperluas ke Semarang (Midden Java) dan Soerabaja (Oost Java). Oleh karena itu, semoga para pembaca dapat memakluminya: Abdi nyuhunkeun dihapunteun.
Artikel-artikel sejarah ini adalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Oleh karenanya artikel-artikel Sejarah Padang Sidempuan (juga sejarah Natal, sejarah Mandailing, sejarah Angkola, sejarah Padang Lawas, sejarah Sipirok dan sejarah Batangroru), Sejarah Tapanoeli dan Sejarah Medan lalu Sejarah Jakarta, Sejarah Bogor dan kini Sejarah Bandung (yang akan ditulis kemudian sejarah Semarang dan sejarah Soerabaya) adalah ‘by product’ dari studi yang tengah saya lakukan. Saya bukan ahli sejarah, saya adalah ekonom tetapi membutuhkan aspek sejarah dalam studi yang tengah saya lakukan. Meski ini adalah catatan pinggir atau produk sampingan namun saya rasa telah sedikit banyak mengoreksi sejarah yang ditulis di kota-kota tersebut, termasuk koreksi terhadap Sejarah Bandung.
Peta Kota di Jawa dan Sumatra

Sudah barang tentu, peta kota yang pertama dibuat dan dipublis adalah peta kota Batavia. Bahkan peta kota Batavia sudah jauh berkembang sejak era VOC. Pada saat Pemerintahan Hindia Belanda (1800) peta kota Batavia sudah detail untuk area Weltevreden dan Meester Cornelis. Ibukota juga sudah pindah dari Batavia (lama) dekat pantai ke Batavia (baru) di Konings Plein (lapangan Monas yang sekarang). Istana Gubernur Jenderal menghadap ke utara.

Peta Buitenzorg, 1880
Pada era Inggris (1811-1816) tidak ada peta kota Batavia. Ibukota justru dipindah ke Buitenzorg (Bogor). Peta kota Buitenzorg belum ada hingga berakhirnya era Inggris. Demikian juga peta kota Buitenzorg belum dibuat. Peta kota Buitenzorg yang dapat ditemukan adalah peta yang dibuat tahun 1880. Peta ini sudah sangat lengkap dalam tiga area: Paledang (Eropa), Babakan Pasar (Tionghoa) dan Bondongan (pribumi). Di tengah kota sudah terpetakan kebun raya namun baru sampai batas sungai Tjiliwong.

Peta Padang Sidempuan, 1880
Pada saat peta Kota Buitenzorg terbit tahun 1880, Peta Kota Bandung belum ada. Demikian juga Kota Padang belum ada. Justru peta Kota Padang Sidempuan lebih dahulu dibuat dari Kota Padang maupun Kota Bandung. Peta Kota Padang Sidempuan dibuat danditerbitkan pada tahun 1880. Tahun penerbitan peta Kota Padang Sidempuan bersamaan dengan tahun penerbitan kota Buitenzorg. Mengapa demikian tidak ditemukan penjelasan. Kota Padang Sidempuan menjadi ibukota afdeeling Mandailing en Angkola sejak 1870 (dipindahkan dari Panjaboengan).

Dalam perkembangannya, ibukota Residenti Tapanoeli kemudian dipindahkan dari Sibolga ke Padang Sidempuan tahun 1885. Boleh jadi persiapan pemindahan ibukota Residen Tapanoeli ke Padang Sidempuan menjadi alasan yang kuat mengapa peta Kota Padang Sidempuan sudah ada pada tahun 1880. Pada saat yang bersamaan dalam pembuatan peta Kota Padang Sidempuan dibangunan jembatan Batangtoru (antara Sibolga dan Padang Sidempuan). Jembatan ini mulai dikerjakan tahun 1879 dan selesai 1883 yang panjangnya lebih daeri 100 meter (jembatan terpanjang di Hindia Belanda, suatu kebanggaan Pemerinatah Hindia Belanda di Batavia). Kota Padang Sidempuan sebagai ibukota residentie tidak lama (dua tahun) dan kembali lagi ke Sibolga.

Peta Kota Padang 1889
Kota Padang yang merupakan ibukota Province Sumatra’s Westkust baru memiliki peta detail kota tahun 1889. Pada tahun 1879 sketsa kota Padang sudah ada namun masih bagian (yang menyatu) dari peta keseluruhan Sumatra’s Westkust. Sketsa kota tersebut tidak begitu detail sehingga tidak dapat dikatan sebagai peta resmi Kota Padang. Dalam peta Kota Padang 1889 detailnya sudah menyerupai peta Kota Padang Sidempuan yang sudah dibuat dan diterbitkan tahun 1880.

Kota Semarang di Midden Java, peta kota sudah ada sejak lama dan diterbitkan pada tahun 1875. Kota Semarang adalah kota utama di pantai utara Jawa setelah Batavia. Permasalahan kota Semarang kurang lebih sama dengan kota Batavia yakni memiliki topografi yang rendah dan dialiri sungai Semarang yang kerap banjir. Sebagaimana di kota Batavia di masa lampau di bangun kanal-kanal, di Semarang juga dibuat kanal-kanal. Setelah ibukota Batavia (di Casteel Batavia) menjadi kering lalu menyatu dengan daratan, hal ini juga mirip dengan di Semarang, casteel kemudian menyatu dengan daratan. Peta Semarang 1875.

Peta Semarang 1875
Sketsa Casteel di Semarang sudah teridentifikasi pada tahun 1726 (era VOC). Di dalam peta Kota Semarang tahun 1875, area casteel ini sudah menjadi kota tua sebagaimana sebelumnya casteel Batavia sudah menjadi kota tua dalam Peta Batavia.

Kota Surabaya sudah memiliki peta awal pada tahun 1867. Peta ini kemudian dibuat lebih detail pada peta Kota Surabaya terbitan tahun 1880. Kota Batavia, Kota Semarang dan Kota Soerabaja terbilang kota-kota yang sudah berkembang sejak lama. Tiga pelabuhan besar ini merupakan pelabuhan utama di Hindia Belanda sejak era VOC.

Peta Surabaja 1880
Hingga tahun 1880, secara teknis. Kota-kota di Hindia Belanda yang sudah memiliki peta kota detail baru lima kota: Batavia, Semarang, Soerabaja, Buitenzorg dan Padang Sidempuan. Di luar Kota Batavia, pada tahun 1880 ukuran kota Semarang, Soerabaja, Buitenzorg dan Padang Sidempuan kurang lebih sama. Bahkan kota Padang Sidempuan masih lebih luas jika dibandingkan dengan kota Padang. Pada tahun 1880, Kota Medan baru mulai menata kota sejak 1879 Medan dijadikan sebagai ibukota afdeeling Deli (tempat dimana asisten residen ditempatkan, sebelumnya di Labuhan Deli). Bahkan ketika Medan masih kampong, Padang Sidempuan sudah menjadi kota.

Dengan demikian, sejauh yang dapat ditelusuri, kota-kota di Hindia Belanda yang sudah memiliki peta kota resmi adalah Batavia, Semarang, Soerabaja, Buitenzorg dan Padang Sidempuan dan Padang. Yang dimaksud peta resmi adalah peta yang dibuat khusus untuk kota yang mencakup detail kota yang dilakukan oleh Kantor Topografi yang berpusat di Batavia. Sementara itu, kota Bandung sendiri, sejauh yang bisa ditelusuri belum memiliki peta kota resmi (sketsa Kota Bondoeng juga sejauh yang dapat ditelusri belum ada). Namun demikian, Kota Bandung perkembangannya sangat pesat setelah tahun 1880 yakni sejak diresmikannya jalur kereta api dari Batavia-Bandoeng via Buitenzorg, Soekaboemi dan Tjiandjoer pada tahun 1882.

Peta Kota Bandung


Peta Bandung 1905
Pertanyaan besarnya. Kapan peta resmi Kota Bandung terbit pertama kali? Saya belum menyerah untuk berusaha mencarinya. Mungkin ada pembaca yang membantu saya? Sejauh yang bisa saya telusuri peta resmi Kota Bandung ditemukan terbitan tahun 1905. Peta detail kota Bandung ini tampak lebih rapih dan dan memiliki rencana tata kota yang baik (bahkan jika dibandingkan dengan Batavia, Semarang dan Soerabaja). Kota Bandung yang tengah berkembang pesat, juga Kota Medan berkembang pesat. Kedua kota ini perkembangannya dipicu oleh semakin meluasnya perkebunan. Kota Bandung menjadi pusat perkebunan (kina dan teh) di Preanger sedangkan Kota Medan menjadi pusat perkebunan tembakau.

Sketsa Kota Bandung 1920
Kota Bandung lebih berkembang ke arah utara yang merupakan area orang-orang Eropa dan Tionghoa (Bandung Utara). Sedangkan area Bandung Selatan hanya berkembang di sekitar pusat kota, tepatnya di sekitar kantor Bupati Bandung. Jalan pos trans-Java merupakan pemisah antara Bandung Utara dan Bandung Selatan. Jalan utama di Bandoeng Utara adalah Jalan Braga (menuju rumah asisten residen Bandoeng) dan jalan Pasar Baroe (menuju rumah residen Preanger).

Tunggu deskripsi lebih lengkap


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe.

5 komentar:

  1. maaf izin bertanya penulis mendapatkan foto2 peta lama ini dari mana ya? bisa tolong tuliskan sumbernya? terima kasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semuanya dari internet asal rajin saja mengumpulkannya. Untuk navigasinya, ketik saja kaart bandoeng. Pasti muncul semua.

      Hapus
  2. Sy membaca banyak sekali postingan di blog ini dan merasa sangat terbantu untuk lebih mengenal Bandung. Semoga kelak menjadi buku

    BalasHapus
  3. Mohon maaf, mengenai Astana Anyar, anda ini sumbernya dari mana ini? Astana dalam bahasa sunda artinya kuburan, bukan istana, jadi astana anyar artinya pekuburan baru.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mungkin ada benar, tetapi mungkin anda bisa salah. Memang betul astana dalam bahasa Sunda adalah makam, sedangkan bahasa Melayu astana adalah istana. Oleh karena saya tidak menemukan bukti bahwa kawasan itu sebagai kawasan pemakaman (melainkan di kawasan Tjitjendo), yang justru di kawasan yang disebut Astana Anjar adalah bangun baru, mungkin satu-satunya yakni kantor/rumah bupati Bandoeng yang direlokasi dari Dajeuh Kolot, ke seberang jalan dimana sudah dibangun kantor pemerintah Hindia Belanda (rumah/kantor Controleur district Bandoeng pada tahun 1840an). Kantor/rumah Bupati (sebagai istana Bupati Bandoeng) dibangun oleh pemerintah Hindia Belanda. Perlu diperhatikan jalan trans Java melalui rumah Controleur dan rumah Bupati adalah jalan baru yang dibangun baru di eks rawa-rawa di daerah aliran sungai Tjikapoendoeng. Demikian.

      Hapus