Rabu, 31 Mei 2017

Sejarah Gerakan Menjadi Indonesia (1): Willem Iskander, Inspirator; Visi Menjadi Indonesia Bermula di Padang Sidempuan

Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini


Ketika penduduk Atjeh berjuang dengan senjata melawan Belanda, Willem Iskander mulai berjuang melawan Belanda dengan pena. Ketika kraton dan masjid Atjeh telah hancur oleh Belanda, Willem Iskander mengungkapkan rasa keprihatinannya. Itulah perjuangan intelektual Willem Iskander, seorang guru di Tanobato, Afdeeling Mandailing dan Angkola.

Afdeeling Padang Sidempoean (sejak 1905)
Atjeh adalah wilayah terakhir Indonesia yang kemerdekaannya dirampas oleh Belanda. Willem Iskander menyayangkannya (lihat Provinciale Noordbrabantsche en 's Hertogenbossche courant, 28-04-1874). Sebelum Belanda menghancurkan Atjeh, Willem Iskander menulis dalam bukunya ‘seharusnya orang asing segera cepat keluar, karena perutnya sudah penuh dan buncit (lihat buku Si-Boeloe-Boeloes, Si Roemboek-Roemboek, Batavia, 1872).  

Willem Iskander tidak berumur panjang. Willem Iskander meninggal dunia di Belanda pada bulan Mei 1876. Willem Iskander meninggal beberapa bulan setelah tiga guru muda (Tapanoeli, Djawa dan Soenda) yang dibimbingnya dari tanah air untuk studi di Belanda meninggal satu per satu di Belanda. Upaya lebih lanjut Willem Iskander mencerdaskan Indonesia sirna, tetapi visinya ‘mencerdaskan bangsa dan mengentaskan Belanda’ telah menjadi abadi dalam bukunya yang menjadi inspirasi kepada generasi penerusnya di Padang Sidempuan

Bagaimana kiprah generasi penerus Willem Iskander dalam membangun visi menjadi Indonesia akan disajikan dalam sejumlah artikel. Sumber data yang digunakan dalam serial artikel ini merupakan hasil penelusuran yang dilakukan pada surat-surat kabar yang terbit antara 1842 dan 1942. Mari kita mulai dengan artikel pertama

Untuk sekadar pembuka: Kehadiran Belanda (VOC) di nusantara satu per satu negeri yang berdaulat jatuh ke tangan penjajah. Maluku, Jawa dengan Perang Jawa yang terkenal yang dimulai dari Sultan Agoeng dan Pangeran Diponegoro, Sulawesi dan Kalimantan telah dikuasai. Di Sumatra Palembang dan Lampong jatuh, kemudian Minangkabau lalu Tapanuli yang dimulai di Afdeeling Mandailing dan Angkola. Setelah Riau dan Pantai Timur Sumatra jatuh giliran wilayah Batak lainnya jatuh dengan tertembaknya Sisingamangaradja. Setelah itu hanya tinggal satu wilayah yang masih independen yakni: Atjeh.


Perlawanan Atjeh adalah wujud perlawanan terakhir dari wilayah-wilayah di nusantara. Jika Atjeh jatuh, maka nusantara habis sudah. Atjeh terlalu kuat buat Belanda dan hanya dengan operasi gabungan (darat dan laut) baru bisa menaklukkan Atjeh. Pada saat Atjeh diambang jatuh inilah Willem Iskander berteriak, yang menjadi berita hangat di berbagai surat kabar di Belanda maupun di Hindia Belanda. Saat nusantara habis sudah, saat itulah Willem Iskander memulai merajut kembali nusantara.

Ujaran, ajaran dan ijaran Willem Iskander baik melalui pengajarannnya di kelas, maupun pendapatnya yang ditulis dalam buku maupun dicatat dalam surat kabar mulai menjadi benih yang disemaikan di Padang Sidempuan oleh para murid-muridnya. Generasi penerus dari Padang Sidempuan inilah kelak yang secara intens membangkitkan kesadaran berbangsa (mempersatukan bangsa dalam bentuk persatuan) dan memperjuangkan kemerdekaan (RI) serta mempertahankan kesatuan bangsa (NKRI).
Kelak kita lihat, sejak Afdeeling Mandailing dan Angkola maju dalam pendidikan, setelah Atjeh jatuh, generasi Padang Sidempuan yang merupakan estafet dari Willem Iskander, segera berangkat ke Atjeh untuk mengisi kebutuhan guru-guru dalam upaya untuk mencerdaskan bangsa. Zulkifli Lubis dan SM Amin Nasoetion adalah dua anak guru-guru dari Padang Sidempuan yang lahir di Atjeh yang banyak memberi kontribusi dalam upaya meraih kemerdekaan RI dan upaya memperthankan NKRI.
Visi Menjadi Indonesia Bermula di Padang Sidempuan

Ketika di tempat lain, belum begitu maju pendidikan, di Padang Sidempuan pada tahun 1879 dibuka sekolah guru (kweekschool). Murid-muridnya direkrut dari 15 sekolah negeri yang ada di Residentie Tapanoeli. Banyaknya sekolah negeri di Residentie Tapanoeli memungkinkan kandidat siswa terbaik untuk diterima di sekolah guru Akreditasi-A ini mudah diperoleh.

Kweekschool Padang Sidempuan adalah suksesi Kweekschool Tanobato yang diasuh oleh Willem Iskander (yang meninggal di Belanda tahun 1876 saat melanjutkan studi untuk memperoleh akte kepala sekolah berlisensi Eropa). Kweekschool Tanobato yang didirikan Willem Iskander 1862 (setelah pulang studi dari Belanda) pada tahun 1864 diakui pemerintah sebagai sekolah guru terbaik di Hindia Belanda. Alumni sekolah guru Tanobato ini yang menjadi guru-guru di sekolah negeri di Tapanoeli.

Pada tahun 1884 salah seorang alumni sekolah guru Padang Sidempuan yang baru lulus bernama Si Saleh (kelak dikenal sebagai Dja Endar Moeda) bersama temannya melakukan pengumpulan dana untuk membantu pendidikan keluarga yang tidak mampu (Sumatra Courant, 01-05-1884). Aksi ini tentu sangat langka kala itu di Hindia Belanda, ketika di tempat lain penduduk usia sekolah masih sulit diajak pergi ke sekolah, di Padang Sidempuan begitu banyak yang ingin bersekolah tetapi tidak semua orangtua mampu menyekolahkan anaknya. Saat situasi dan kondisi serupa inilah aksi Dja Endar Moeda berlangsung yang dilaporkan surat kabar Sumatra Courant yang terbit di Padang. Sangat menyentuh dan memiliki visi yang jauh ke depan.

Aksi solidaritas dari Dja Endar Moeda ini dapat diartikan Dja Endar Moeda sangat peduli pendidikan. Adanya aksi ini juga menunjukkan banyak penduduk usia sekolah ingin bersekolah sekalipun datang dari keluarga tidak mampu. Sikap Dja Endar Moeda ini seakan ingin terjun langsung menyelesaikan permasalahan yang nyata di masyarakat (penjajahan) yang besar kemungkinan dipengaruhi oleh visi Willem Iskander (dalam bukunya Si-Boeloe-Boeloes, Si Roemboek-Roemboek, Batavia, 1872): sikola mambuka parbinotoan (bersekolah membuka pengetahuan).

Dja Endar Moeda tidak hanya memberi contoh tentang kebajikan dalam upaya mencerdaskan bangsa. Dja Endar Moeda juga menunjukkan kepedulian terhadap pendidikan di atas dirinya sendiri. Bibit nasionalis dalam diri Dja Endar Moeda telah tumbuh dengan baik sebagaimana sebelumnya Willem Iskander, kepala sekolah guru di Tanobato pernah mengusulkan kepada pemerintah untuk mengirim guru dari Tapanoeli, Djawa dan Soenda (secara nasional) untuk studi ke Belanda (untuk mempercepat kemajuan pendidikan penduduk pribumi). Singkat kata: kepeloporan Willem Iskander dalam dunia pendidikan pribumi telah merasuk dalam diri Dja Endar Moeda. Pegiat pendidikan seperti Dja Endar Moeda ini di Padang Sidempuan tentu saja sangat banyak. Mereka inilah yang kemudian menyebar ke berbagai penjuru: Tapanoeli sendiri, Sumatra’s Westkust, Atjeh, Riaou, Sumatra’s Oostkust dan Djambie.

Kweekschool Padang Sidempoean tiap tahun meluluskan guru-guru muda. Kweekschool Padang Sidempuan memiliki tingkat kelulusan (rasio antara kandidat dan yang lulus ujian akhir) paling tinggi di Hindia Belanda. Kweekschool Padang Sidempuan diakui sebagai sekolah guru terbaik di Hindia Belanda (seperti yang pernah diakui pemerintah terhadap sekolah guru Tanobato, asuhan Willem Iskander).

Ketika Medan masih kampung, Padang Sidempuan sudah kota
Kota Padang Sidempuan, tempat dimana Kweekschool Padang Sidempuan berada menjadi semacam kawah candradimuka. Sebuah kota yang menggembleng para siswa dengan baik, siswa-siswa yang kelak menjadi guru-guru yang berdedikasi, pegawai-pegawai giat membangun, jurnalis-jurnalis yang berani, pujangga-pejuangga yang menginspirasi dan yang bergerak di lapangan kehidupan yang lainnya.

Para alumni ini tidak hanya berdedikasi di kampong halaman, sebagian besar mereka berkiprah di luar daerahnya sekalipun jauh ke ujung Sumatra di Kota Radja (Banda Ache) dan Tandjong Karang (Bandar Lampung) untuk membangun dan mencerdaskan bangsanya. Para alumni ini juga adalah teladan di tingkat keluarga. Mereka berhasil mendidik anak-anaknya dengan baik, menyekolahkan mereka setinggi-tingginya walaupun jauh ke negeri Belanda. Anak-anak mereka tidak hanya berhasil di perguruan tinggi, tetapi menjadi pionir di kalangan mahasiswa yang setelah lulus juga sukses sebagai guru, dokter, politisi, wartawan, sastrawam dan sebagainya.  

Sebagaimana Kota Padang Sidempuan, Afdeeling Padang Sidempuan (sebelumnya bernama Afdeeling Mandailing dan Angkola) juga menjadi kawah candradimuka bagi siswa-siswa sekolah dasar, tidak hanya siswa yang datang dari keluarga yang mampu tetapi juga dari keluarga yang tidak mampu. Setelah lulus sekolah dasar, mereka merantau ke berbagai penjuru untuk mengisi kekosongan berbagai lapangan usaha baik sebagai pedagang, pegawai pemerintah atau pegawai swasta (seperti krani).

Persebaran orang-orang terpelajar dari Afdeeling Padang Sidempuan ke berbagai wilayah di Hindia Belanda di satu sisi meluaskan peran mereka jauh di luar kampong halaman dan di sisi lain, keberadaan mereka di rantau memperkuat pemahaman mereka tentang diri mereka tentang arti kebangsaan: tumbuhnya pemahaman persatuan dan kesatuan. Dengan berlatar belakang sosiobudaya merantau dan tidak kembali (perantau hanyut) yang berhadapan langsung dengan kenyataan yang mereka hadapi dan peran yang mereka lakukan, orang-orang terpelajar dari Afdeeling Padang Sidempuan secara seragam, dimanapun mereka berada mengedapankan persatuan dan kesatuan menjadi prioritas. Inilah yang mendasari mereka yang kelak dikenal sebagai visi menjadi Indonesia. Mereka tidak lagi melihat diri sendiri sebagai orang Mandailing dan orang Angkola, tetapi sudah lebih awal melihat sebagai orang Hindia Belanda (baca: Indonesia).

Hal inilah yang terjadi pada diri Dja Endar Moeda dan Soetan Casajangan, dua orang terawal Indonesia yang melihat visi menjadi Indonesia. Dja Endar Moeda dan Soetan Casajangan adalah guru yang sama-sama alumni Kweekschool Padang Sidempuan. Mereka berdua tidak berbicara lagi tentang dirinya sendiri, tidak berbicara lagi tentang kampong halaman, akan tetapi keduanya jauh dari kampong halaman telah berbicara tentang kebangsaan (cikal bakal bangsa Indonesia).

Gagasan kebangsaan Dja Endar Moeda dan Soetan Casajangan merupakan perkembangan lebih lanjut gagasan kebangsaan yang pernah dipikirkan oleh Willem Iskander. Pada masa itu (1869an) embrio gagasan kebangsaan Willem Iskander muncul ketika pertama kali mengusulkan pemerintah Hindia Belanda untuk mengirimkan guru muda dari Tapanoeli, Djawa dan Soenda untuk studi di Belanda. Oleh karena itu, Willem Iskander, Dja Endar Moeda dan Soetan Casajangan dapat dikatakan sebagai tiga orang pertama Indonesia yang telah memiliki wawasan kebangsaan: visi menjadi Indonesia.

Dalam serial artikel ini, gagasan kebangsaan Dja Endar Moeda dan Soetan Casajangan akan dideskripsikan dan dibuat dalam dua artikel yang terpisah. Kemudian secara berturut-turut dihadirkan sejumlah tokoh asal Padang Sidempuan yang sangat intens mengusung gagasan kebangsaan (visi menjadi Indonesia), antara lain: Parada Harahap, Amir Sjarifoeddin, Soetan Goenoeng Moelia, Zainul Arifin Pohan, Adam Malik, Abdul Haris Nasution, dan Mochtar Lubis.

Tokoh-tokoh asal Afdeeling Padang Sidempuan yang berkiprah di daerah yang mengusung kebangsaan (visi menjadi Indonesia) antara lain akan menghadirkan SM Amin Nasution dan Abdul Hakim Harahap (di Medan), Radjamin Nasution (Soerabaja), Gele Haroen Nasution (Bandar Lampung), Abdul Hakim Nasution (Padang). Sakti Alamsyah Siregar (Bandung).

Mereka ini semua adalah republiken sejati, republiken yang tidak pernah menghianati visi menjadi Indonesia. Mereka semua adalah pendukung setia NKRI. Mereka yang berjuang di luar kampong halaman, juga didukung habis oleh penduduk yang berada di kampong halaman. Sebagaimana diketahui, hanya dua wilayah tersisa di Indonesia, yakni Jawa Tengah/Djokja dan Tapanoeli yang tidak sekalipun pernah berpikir untuk menentang persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia (NKRI) hingga kini.

Tokoh-tokoh Indonesia, tokoh-tokoh republik asal Afdeeling Padang Sidempuan menganggap NKRI sudah final dan harus dijaga kelestariannya, karena mereka telah dengan sadar sudah turut membangun visi menjadi Indonesia sejak awal yang melahirkan Indonesia (NKRI).


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar