Senin, 26 Juni 2017

Sejarah Bogor (21): Hari Raya Idul Fitri ‘ala’ Obama, Razak dan Trudeau; Suasana Lebaran di Bogor dan Kuala Lumpur

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bogor dalam blog ini Klik Disin


Hari Raya Idul Fitri tahun ini, 2017 dalam konteks sejarah sangat spesial. Dua hari sebelum Hari Raya Idul Fitri, mantan Presiden Amerika Serikat Barack Obama tiba di Bali untuk berlibur. Pada Hari Raya Idul Fitri, PM Kanada Justin Trudeau mengucapkan selamat Idul Fitri bagi umat Muslim. Lalu hari kedua Hari Raya Idul Fitri PM Malaysia Tun Abdul Razak tiba di Bali untuk berlibur.

Tiga tokoh dunia: 'Indonesia bagian dari diri kami' (ft Wikipedia)
Apa pentingnya ketiga tokoh dunia ini bagi Indonesia? Mereka bertiga memiliki hubungan emosional dengan Indonesia. Barack Obama pernah tinggal dan bersekolah di Jakarta selama empat tahun (1967-1971). Obama memiliki adik kandung bernama Maya Soetoro dari ayah orang Indonesia. Sementara itu Justin Trudeau dari garis ibu memiliki hubungan darah dengan gadis cantik Nias di Kota Padang. Sedangkan Tun Abdul Razak dari garis ayah memiliki hubungan darah dengan Radja Gowa di Sulawesi Selatan.

Obama, Razak dan Trudeau adalah tiga kepala negara di luar Indonesia yang memiliki hubungan dekat di hati dengan Indonesia. Obama dan Trudeau memiliki hubungan yang akrab. Hubungan mereka bahkan yang paling akrab diantara semua Perdana Menteri Kanada dan semua Presiden Amerika Serikat. Dalam kaitannya dengan Hari Raya Idul Fitri yang sekarang: meski Obama dan Trudeau bukan beragama Islam tetapi keduanya sama-sama sangat menghormati warga Muslim dan selalu memberi ucapan selamat bagi warga Muslim yang merayakan Hari Raya Idul Fitri. Simak ucapan Trudeau berikut:

‘Malam ini saat matahari tenggelam, umat Islam di Kanada dan seluruh dunia akan merayakan Idul Fitri. Idul Fitri merupakan salah satu perayaan keagamaan penting bagi umat Islam dan menandai akhir bulan suci Ramadan. Ini adalah saat untuk bersyukur atas peningkatan iman dan rahmat yang didapat selama berpuasa. Dalam kesempatan ini, keluarga dan teman berkumpul untuk menghadiri Salat Idul Fitri, bertukar maaf, menikmati makanan, dan memberi kepada sesama, terutama kepada mereka yang kurang beruntung,

Obama selama menjadi Presiden Amerika Serikat dalam dua periode memberi ucapan yang sama. Namun kali ini Obama tidak lagi memberi ucapan karena bukan sebagai presiden lagi, tetapi Obama mengungkapkannya dengan cara yang berbeda yakni datang langsung ke Indonesia. Obama sebelum Hari Raya Idul Fitri sudah tiba di Bali untuk berlibur. Boleh jadi ini cara Obama untuk mendekatkan diri dan memberi kesempatan bagi keluarganya di Indonesia (terutama dari pihak ayah Maya Soetoro) untuk dapat berkumpul dalam suasana Idul Fitri. Sebagaimana direncanakan, Obama dan keluarga juga akan ke Jogjakarta dan Bogor.

Bhinneka Tunggal Ika 'ala' Internasional: Open House di Kuala Lumpur dan Barrack Obama Berlebaran ke Bogor, Kapan Justin Trudeau?

Dalam suasana Hari Raya Idul Fitri, Obama dari Bali dan Jokjakarta akan ditunggu Presiden Jokowi di Istana Bogor. Presiden Jokowi tentu saja tidak dalam rangka memberikan jamuan makan siang di Istana Bogor, tetapi lebih tepatnya jamuan makan siang dalam suasana Hari Raya Idul Fitri. Inilah titik temu cara aman bagaimana Presiden Indonesia Jokowi dan cara (mantan) Presiden Amerika Serikat dapat berlebaran bersama. Obama seakan ingin merasakan kembali bagaimana suasana lebaran pada tahun-tahun antara 1967 hingga 1971.

Dato' Sri Mohamad Najib Tun Abdul Razak tidak perlu dengan cara Obama berlebaran di Indonesia. Abdul Razak hari kedua Hari Raya Idul Fitri hanya liburan ke Bali dan bukan untuk lebaran. Abdul Razak sebelum ke Bali, sudah berlebaran di Kuala Lumpur dengan cara open house. Warga Kuala Lumpur telah datang ke rumah pribadi Abdul Razak di jalan Taman Duta, Kuala Lumpur. Hal serupa juga telah dilakukan Jokowi di Jakarta. Bagi warga Kuala Lumpur yang berasal (nenek moyang) dari Indonesia open house ala Abdul Razak sangat hikmat, karena Abdul Razak tidak hanya berasal dari Indonesia (Gowa), juga Kota Kuala Lumpur dibangun oleh orang-orang yang nenek moyangnya dari Indonesia (Mandailing en Angkola).

Tokoh pemulihan Indonesia-Malaysia
Kota Kuala Lumpur sesungguhnya dibangun oleh orang-orang asal Mandailing dan Angkola. Ini bermula ketika pada tahun 1842-1843 terjadi pemberontakan melawan Belanda di Mandailing dan Angkola. Para pemimpin ditangkap dan diasingkan. Sebagian penduduk Mandailing dan Angkola yang menentang kehadiran Belanda melakukan eksodus ke Semenanjung Malaya (di bawah kekuasaan Inggris). Salah satu pemimpin Mandailing yang hijrah dari Mandailing dan Angkola ke Semenanjung bernama Soetan Poeasa.


Upcoming book – Sutan Puasa: The Founder of Kuala Lumpur
Migran dari Mandailing dan Angkola, mulai membuka huta di hulu sungai Kelang. Hal ini dilakukan di pedalaman, karena di pesisir sudah sejak lama ada orang-orang Bugis dan Melayu, maka orang-orang Mandailing dan Angkola merangsek menelusuri sungai ke arah hulu yang masih kosong. Hal ini mungkin tidak masalah karena orang-orang Mandailing dan Angkola lebih terbiasa di pedalaman sebagaimana di kampung halaman di Sumatra. Di pedalaman selain bertani, orang-orang Mandailing dan Angkola juga melakukan usaha penambangan timah di tempat dimana kemudian dikenal sebagai Ampang dan Kuala Lumpur. Hasil-hasil penambangan timah ini diperdagangkan kepada orang-orang Tionghoa dimana orang-orang Bugis di hilir memungut cukai terhadap pelayaran yang dilakukan oleh orang-orang Mandailing dan Angkola. Dalam perdagangan ini, pemimpin Mandailing dan Angkola, Soetan Poeasa di Ampang berniaga dengan Hiu Siew dan Ah Sze. Dalam perkembangannya untuk memudahkan pekerjaan berniaga kedua pedagang Tionghua diminta datang langsung dan membuat pangkalan di Ampang. Orang-orang Tionghoa pada tahun 1859 membuka pangkalan satu pal jauhnya di pertemuan sungai Gombak dan sungai Kelang. Pertemuan sungai inilah yang kemudian dikenal sebagai kampong Kuala Lumpur. Kampong inilah kemudian yang menjadi cikal bakal Kota Kuala Lumpur yang sekarang (lihat Abdur Razzaq Lubis, penulis senior di Malaysia).

Tentang keberadaan orang-orang Mandailing dan Angkola di Malaysia pernah ditulis oleh Basyral Hamidy Harahap. Pada saat penandatanganan rujuk Indonesia Malaysia mengakhiri Konfrontasi Indonesia Malaysia di Departemen Luar Negeri di Pedjambon 1966 diwakili oleh Adam Malik Batubara (asal Mandailing dan Angkola) dari pihak Indonesia dan Tun Abul Razak dari pihak Malaysia, 1966. Tun Abul Razak adalah ayah dari Dato' Sri Mohamad Najib Tun Abdul Razak. Salah satu yang mendampingi Tun Abdul Razak dalam penandatanganan itu adalah wartawan senior Malaysia bernama Kamaloedin Nasoetion (kerabat dekat Jenderal AH Nasution). Pasca penandatangan rujuk Indonesia-Malaysia, Mr. Arifin Harahap (Sekjen Departemen Perdagangan RI 1966-1969) ditunjuk untuk memimpin misi ekonomi-perdagangan dengan Malaysia.

Mr. Arifin Harahap
Di Malaysia sendiri, tokoh penting yang berasal dari Mandailing dan Angkola tak terbilang banyaknya. Mereka yang memiliki leluhur di Mandailing dan Angkola, antara lain: Tan Sri Dato’ Senu Abdurrahman Siregar (pernah menjadi Duta Besar Malaysia untuk Indonesia dan juga mantan Menteri Penerangan Kerajaan Malaysia), Tun Mohammad Haniff bin Omar Nasution (mantan Ketua Polis Diraja Malaysia), Laksamana Dato’ Mohammad Zain Salleh Nasution (mantan Panglima Angkatan Laut Diraja Malaysia), Dato' Harun bin Idris Harahap (mantan Menteri Besar Selangor), Tan Sri Dato’ Mohammad bin Haji Mohammad Taib Nasution (mantan Menteri Besar Selangor), Tan Sri Dato’ Haji Mohammed Azmi bin Haji Kamaruddin Harahap (Hakim Agung), dan Dato’ Kamaruddin bin Idris Harahap (mantan Ketua Polis Diraja Malaysia).  

Tapanuli Bagian Selatan (Tabagsel)
Dari daftar ini, timbul pertanyaan: mengapa akhirnya gagal ganyang Malaysia dan mengapa pula begitu mudah pemulihan hubungan Indonesia-Malaysia. Boleh jadi karena di sisi Indonesia ada Abdul Haris Nasution (Kepala Staf Angkatan Bersenjata), Adam Malik (Menteri Luar Negeri) dan Arifin Harahap (Sekjen Departemen Perdagangan era Soeharto dan Menteri Perdagangan era Soekarno). Boleh jadi ini Bhinneka Tunggal Ika 'ala' Mandailing dan Angkola. Untuk sekadar tambahan: Bhinneka Tunggal Ika ala Gowa dan Padang Sidempuan pada masa ini dipersonifikasikan oleh Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo yang berasal dari Gowa dan istrinya Ayunsri Harahap yang berasal dari Angkola-Padang Sidempuan. Catatan: Nama Afdeeling Mandailing dan Angkola diubah tahun 1905 menjadi Afdeeling Padang Sidempoean dan wilayah tersebut kini dikenal sebagai Tapanuli Bagian Selatan).

Istana Bogor: Lambang Pluralisme di Indonesia

Silsilah Justin Trudeau dari Kota Padang
Jika Obama dengan cara tersamar telah melakukan lebaran di Indonesia, tepatnya di Jokjakarta dan Bogor, lantas kapan Justin Trudeau liburan sekaligus lebaran ke Indonesia? Kita tunggu saja. Sebab, itu semua adalah wujud terbentuknya Bhinneka Tunggal Ika 'ala' Internasional.
Andries Carel disebut menikah dengan seorang gadis Nias. Andries diperkirakan lahir antara 1711 dan 1771 dan tidak diketahui dimana lahir. Dari perkawinan antara Eropa dan Nias ini lahir putri tunggal mereka di Padang bernama Anna Francina yang lahir 13 Oktober 1776. Anak semata wayang ini menikah dengan Teunis Jans Intveld yang lahir di Hellevoetsluis, Nederland, 20 January 20, 1768. Mereka memiliki 11 orang anak, diantaranya Jacobus Frederik Intveld (Kommies Ontbanger der inkomende en uitgaanderegten yang merangkap sebagai Hevenmeester en Pakhuismeester pada tahun 1829 di Padang) dan Cornelia Louisa Intveld. Cornelia Louiza Intveld yang lahir di Padang tahun 1808 menikah dengan William Purvis pada tanggal 22 Desember 1822. Pernikahan William Purvis  dengan Cornelia Louiza Intveld diumumkan dalam surat kabar Bataviasche courant, 18-01-1823. William Purvis sendiri pada tahun 1822 menjabat sebagai Havenmeester di Padang. Mereka memiliki anak Robert Raaff Purvis, William Purvis, Christiana Purvis, Thomas Intveld Purvis dan Mary Gwynne. Thomas Intveld Purvis, putra Cornelia Louiza Intveld menikah dengan Laura Cook. Pasangan ini kemudian hijrah ke Batavia. Mereka dikaruniai seorang putri yang diberi nama Annie Oliphant Cornelia yang lahir tanggal 5 December 1870 di Batavia (kini Jakarta). Cucu Cornelia Louisa Intveld ini menikah dengan Charles Bugden Grant Bernard. Mereka memiliki 10 anak diantaranya Thomas Kirkpatrick Bernard. Thomas Kirkpatrick Bernard yang lahir tanggal lahir 15 Juni 1891 di Singapura menikah dengan Rose Edith. Mereka dikaruniai dua anak, Doreen Louise dan Doris Kathleen. Kemudian Doris Kathleen menikah dengan James Sinclair. Mereka memiliki beberapa anak, salah satu diantaranya adalah Margaret, sebagaimana kita ketahui yang menjadi ibu dari Perdana Menteri Kanada yang sekarang, Justin Trudeau (lihat Sejarah Kota Padang (9): Ini Riwayat Keluarga Intveld di Padang, Nenek Moyang PM Kanada J. Trudeau; Gadis Nias Jelita).
Barack Obama (dan semoga Justin Trudeau menyusul) akan melakukan lebaran di Istana Bogor. Pilihan Istana Bogor sudah barang tentu sangat tepat. Hal ini karena Istana Bogor tidak saja akan menjadi lambang perdamaian, tetapi juga Istana Bogor akan menjadi lambang pluralisme di Indonesia. Presiden RI Joko Widodo dan mantan Presiden Amerika Serikat yang berbeda agama akan berlebaran pada suasana Hari Raya Idul Fitri di Istana Bogor. Barack Obama (dan Justin Trudeau) adalah orang-(orang) yang diharapkan dapat mempeloporinya, sebab di dalam darahnya mengandung pluralisme.

Sedikit tentang pluralisme di Indonesia, saya teringat pada tahun 1984 saat saya ikut rombongan wisata di Istana Bogor, pemandu menjelaskan bahwa yang ada di salah satu ruangan terdapat pelaminan adat dari Batak Mandailing dan Angkola. Hanya itu deskripsi pemandu istana. Terus terang baru kali itu saya melihat seperti apa pelaminan adat Batak (Mandailing dan Angkola). Saat itu saya mengasosiasikan keberadaan pelaminan itu ada di Istana Bogor, sebab Adam Malik Batubara pernah menjabat sebagai Wakil Presiden pada periode 1978-1983. Bisa jadi pelaminan itu adalah perangkat yang digunakan ketika pernikahan salah satu anak Wakil Presiden Adam Malik Batubara yang sengaja ditinggal dan dipamerkan di salah satu ruang istana. Setelah kunjungan wisata itu, saya tidak tahu apakah perangkat pelaminan itu masih ada atau tidak. Kini, pelaminan adat Batak Mandailing dan Angkola yang dulu pernah saya lihat di Istana Bogor teringat kembali ketika muncul pemberitaan putri tunggal Presiden RI, Joko Widodo bernama Kahiyang Ayu akan dipersunting oleh seorang pemuda bernama Bobby Nasution. Berita itu tentu mengejutkan. Namun segera saya teringat bukankah sebelumnya putra (mantan) Presiden RI, Susilo Bambang Yudoyono bernama Agus Harimurti telah mempersunting seorang pemudi bernama Annisa Pohan?. Lantas apakah ini makna kehadiran pelaminan adat Batak Mandailing dan Angkola yang pernah saya lihat di Istana Bogor pada tahun 1984? Saya tidak mengasosiasikan itu. Pelaminan adat Batak Mandailing dan Angkola adalah satu hal, sementara pernikahan Agus Harimurti dan Annisa Pohan adalah hal lain, sedangkan Bobby Nasution yang akan mempersunting Kahiyang Ayu adalah hal yang lain lagi. Yang jelas, Istana Bogor pantas menjadi lambang pluralisme atau lambang bhinneka tunggal ika.


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar