Senin, 03 Juli 2017

Sejarah Kota Depok (2): Situ Pitara di Depok Disodet untuk Mengairi Persawahan di Tandjong Barat; Bendungan Situ Pitara Ditutup Tahun 1930

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Depok dalam blog ini Klik Disini


Jumlah situ (danau) di Kota Depok sekarang hanya tinggal 23 buah. Jumlah ini sudah sangat berkurang jumlahnya dibanding pada masa lampau. Dari jumlah situ yang tersisa sekarang, hampir semuanya telah berkurang luasnya. Situ yang lebih awal berkurang luasnya adalah Situ Pitara atau juga kini disebut Situ Pancoran Mas. Lahan yang menjadi lokasi Komplek Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias di Kota Depok yang sekarang adalah eks Situ Pitara. Bagaimana jumlah situ berkurang jumlahnya dan bagaimana pula luasnya berkurang, mari kita telusuri.

Peta Tjipajoeng, 1901
Situ, setu, danau, lake atau meer secara teknis karena gejala alam atau intervensi manusia. Umumnya situ terbentuk karena gejala alam. Akan tetapi ada juga situ akibat kombinasi gejala alam dan intervensi manusia. Di Kota Depok, Situ Rawa Besar terbentuk karena adanya intervensi manusia di masa lampau dalam pembutan bata untuk di pasok ke Batavia. Pabrik batu bata ini disebut lio. Nama kampong Lio diduga berasal dari situasi ini.

Situ Pitara

Situ Pitara atau Situ Pancoran Mas di Kota Depok yang sekarang kini hanya tinggal setengah hektar. Padahal di masa lampau situ yang tidak jauh dari Stasion Depok ini luasnya sekitar tujuh hektar (lihat Rapport de Kommisie Eene Zehaven voor Batavia, 1872). Bagaimana luas Situ Pitara jauh berkurang karena adanya intervensi manusia. Berkurangnya luas situ ini bermula karena berkurangnya debit air dan perluasan sawah di Tandjong Barat sebagai pemicunya. Beritanya ditemukan pada tahun 1930 (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 21-07-1930).  

Het nieuws van den dag voor NI, 21-07-1930
Sejak dari doeloe sudah muncul persil-persil sawah di area antara Batavia dan Buitenzorg. Sumber air awalnya tergantung hujan dan mata air yang mengalir. Di musim kemarau lahan basah mengering. Sementara sungai-sungai besar seperti Sungai Tjiliwong atau sungai Tjisadane airnya berada jauh di bawah. Demikian juga sungai-sungai sedang seperti Kali Pesanggrahan airnya juga berada di bawah. Sungai-sungai yang kecil seperti Kali Kroekoet debit airnya mengecil di musim kemarau. Sawah-sawah yang berada di hulu sungai-sungai kecil ini masih ke bagian di musim kemarau tetapi sawah-sawah yang berada di hilir kehilangan air.  Dari situasi ini muncul intervensi pemerintah (VOC) untuk menyodet sungai Tjiliwong dengan membendung di hulu (Katoelampa). Kali baru inilah yang mengairi persawahan sepanjang tahun di sisi timur Sungai Tjiliwong. 

Staatsblad van Nederlandsch-Indie No. 200 Tahun 1877
Pada era Pemerintaha Hindia Belanda (Daendels) muncul ide untuk pencetakan sawah baru di Kedong Badak hingga Tjiliboet. Lalu Sungai Tjipakantjilan di Buitenzorg yang airnya jatuh ke Sungai Tjisadane dialirkan dengan membuat kanal yang kelak airnya mengalir di atas Jembatan Merah. Dari sinilah muncul nama Kampong Empang. Kanal ini sudah ada sebelum tahun 1835. Namun dalam perkembangannya perluasan sawah-sawah baru di Bodjong Gede, Tjitajam dan Depok debit air dari Tjiliboet tidak cukup. Lantas sungai Tjisadane disodet (seperti di Katoelampa) dengan membuat bendungan Empang dan airnya dimasukkan ke kanal yang sudah ada sebelumnya. Di Daerah Bodjong Gede untuk mengangkat air ke atas dibuat kanal yang letaknya berada di atas jalan seperti di ruas Bambu Kuning. Air dari Empang dan kanal di Bodjong Gede inilah yang memperbesar debit air di Tjitajam dan Depok. Dasar hukum pembangunan empang di sungai Tjisadane dan kanal Kali Baroe ini dapat dilihat pada Staatsblad van Nederlandsch-Indie voor 1859. Bendungan Empang ini selesai tahun 1872. Pemakaian air dari bendungan Empang diatur kembali kemudian, dimana di Pasar Tjitajam dibagi dua, ke barat menuju Tjinere dan Pondok Labo dan ke timur setelah Pondok Tjina diteruskan ke Tandjong Barat dan berakhir di Pegangsaan masuk ke Tjiliwong (lihat Staatsblad van Nederlandsch-Indie No. 200 Tahun 1877).

Situ Pitara sangatlah besar, paling tidak profilnya masih terlihat pada tahun 1901 (lihat Peta Tjipajoeng, 1901). Situ ini adalah semacam tempat pembuangan (limpahan) Kali Baru yang airnya berasal dari Kali Baru yang berada di Kampong Pabuaran, Tjitajam. Kali Baru ini menjadi sumber air irigasi untuk persawahan di Pondok Jaya dan Ratu Jaya yang sekarang. Kali Baru ini juga di hulu Situ Pitara diteruskan dengan pembuatan kanal kecil untuk mengairi persawahan di Depok, Bedji, Pondok Tjina dan Pondok Kemiri (hingga ke UI yang sekarang).

Limpahan Situ Pitara ini dialirkan ke Situ Rawa Besar yang berada di dekat Stasion Depok Baru yang sekarang. Situ Rawa Besar ini pada awalnya adalah sebuah cekungan akibat penggalian tanah untuk pembuatan bata. Limpahan Situ Rawa Besar ini dibuang ke kali kecil di hilir yang kelak disebut sebagai Kali Bata (di Bedji). Nama Kampong Lio dan nama Kali Bata besar kemungkinan berasal dari situasi tersebut.  

Adanya kebutuhan tambahan debit air untuk memenuhi persawahan di Tandjong Barat dirancang kemudian untuk menyodet air Situ Pitara dengan membuat terowongan (tunnel) yang airnya diteruskan dengan membuat kanal baru ke jalan Sawangan yang sekarang dan dibelokkan dengan pembuatan kanal sepanjang jalan Tanah Baru dan selanjutnya masuk ke Situ Srengseng Sawah.

Situ Srengseng Sawah sebelumnya sudah disodet airnya untuk mengairi persawahan di Srengseng/Klenteng Agoeng dan Tandjong Barat. Namun debit air yang selama ini yang terus berkurang dan adanya perluasan sawah di Tandjong Barat, sodetan air dari Situ Srengseng Sawah menjadi tidak memadai. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, air dari Situ Pitara merupakan satu-satunya pilihan. Situ Srengseng (kini disebut Setu Babakan) dibendung dan airnya dilirkan dengan membuat kanal ke Tandjong Barat dilakukan pada tahun 1836 (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 11-04-1866).

Situ ‘Besar’ Pitara Ditutup

Akibat kebutuhan air yang besar di hilir Situ Pitara terutama di area yang paling ujung dalam perluasan sawah baru di Tandjong Barat maka Situ Pitara mau tak mau harus ditutup. Usulan penutupan Situ Pitara yang luas ini juga atas pertimbangan dikhawatirkan berisiko jebol di masa nanti (bendungan Situ Pitara sudah pernah jebol sebelumnya).

Sebagaimana Kali Baru yang debit airnya diperbesar dari bendungan Empang di Bogor sudah ada sebelum tahun 1835 untuk mengairi persawahan di Kedong Badak dan Tjilieboet, maka limpahan air tersebut diteruskan ke Bojong Gede dan Tjitajam dengan membuat kanal baru via Bamboe Koening, Pabuaran dan Tjipajoeng. Di Paboearan  air kanal ini dialirkan ke Depok via Pondok Terong dan Ratoe Djaja. Debit air yang besar ini sisanya dibuang ke Situ Pitara. Adanya Situ Pitara ini karena proses pembendungan (di dekat Carefour yang sekarang) dari limpahan Kali Baru. Untuk mengairi persawahan di Tanah Baru (termasuk perumnas yang sekatang) dibuat kanal pada tahun 1855 sepanjang jalan ke Sawangan dengan membuat terowongan di bendungan Situ Pitara. Bendungan Situ Pitara pada tahun 1864 jebol (airnya masuk ke Situ Rawa Besar, sementara kanal ke Tanah Baro kering). Pada tahun 1885 bendungan Situ Pitara dipulihkan kembali sehingga kanal ke Tanah Baru hidup lagi (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 07-11-1899). Profil Situ Pitara yang terlihat pada Peta 1901 adalah gambaran Situ Pitara dengan konstruksi bendungan dan tunnel menuju kanal ke Tanah Baroe.

Akhirnya setelah tahun 1930 Situ Pitara benar-benar ditutup (dengan berbagai negosiasi antara pemerintah dengan Gemeente Depok). Tidak dilakukan pembendungan lagi. Air dari Kali Baroe tidak disimpan lagi di Situ Pitara tetapi langsung diteruskan ke kanal baru Tanah Baroe. Dampak penutupan Situ Pitara (tanpa dibendung lagi) hanya menyisakan situ kecil (alamiah) sebagaimana yang bisa dilihat sekarang (itupun luasnya tentu sudah jauh berkurang dibanding dulu).

Sebelum Situ Pitara ditutup (dalam rentang waktu 1885-1930) air yang bersumber dari Situ Pitara melalui terowongan menurut surat kabar Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 21-07-1930, Gemeente Depok mendapat konpensasi sebesar 400 Gulden per tahun dari pemilik lahan di Tandjoeng Barat. Pemilik lahan di Tandjong Barat akan merasa aman dengan pasokan air yang stabil meski harus mengeluarkan biaya konsumsi air dari Depok. Proposal tahun 1930 adalah usulan radikal, tidak lagi menyewa konsumsi air tetapi sekaligus membeli semuanya sebesar 8.000 Gulden. Akibatnya sawah-sawah di sekitar Depok yang bersumber dari Situ Pitara juga akan kehilangan sumber air. Penjualan air Situ Pitara ini (dan mennghilangkan fungsi sawah di sekitar situ (yang menjadi perdebatan lama sebelum diputuskan) karena penjualan ini dianggap telah melanggar testament dari Cornelis Chastelein. Namun dalam hal ini pengaruh pemerintah sangat kuat sehingga Gemeente Depok tidak berdaya. Situ Pitara yang dulu sangat luas itu hilang selamanya.

Itulah riwayat Situ Pitara, situ besar di masa lampau yang kini hanya tinggal setengah hektar lagi. Salah satu situ besar di Depok hilang ditelan masa. Fungsi konservasi air yang sangat luas lenyap. Lantas bagaimana dengan kisah situ-situ yang lainnya yang ada di Kota Depok?

Situ Pitara begitu luas (tujuh hektar) pada awalnya karena ada tindakan bendungan (1855). Bendungan ini kemudian dilepas alias Situ “besar’ Pitara ditutup (1930). Profil situ serupa ini masih terlihat pada Situ Tjitajam (pada masa ini). Limpahan air dari (bendungan) Situ Tjitajam dialirkan mengikuti hulu sungai Krukut. Dengan kata lain, Situ Tjitajam (di dekat Stasion Tjitajam) adalah hulu sungai Krukut. Debit air sungai Krukut sangat tergantung situasi tinggi air di Situ Tjitajam. Lantas apakah ada kemungkinan bendungan Situ Tjitajam dijebol (ditutup) mengikuti riwayat Situ ‘Besar’ Pitara? Sangat kecil kemungkinannya, karena tidak ada lagi perluasan sawah di hilir (seperti doeloe di Tandjong Barat).

Situ Rawa Besar dan 'Ngubek Situ'

Tetangga Situ Pitara adalah Situ Rawa Besar. Situ Pitara proses terbentuknya dibendung, sedangkan Situ Rawa Besar proses terbentuknya karena terjadinya cekungan besar akibat penggalian untuk pembuatan bata. Industri bata yang berkembang di area tersebut merupakan usaha-usaha pembuatan bata yang dikirim/dijual ke Batavia. Nama Kampong Lio yang persis berada di sisi rawa besar itu diduga muncul karena keberadaan pabrik pembuatan bata (lio) ini.

Pada tahun 1864 Situ Pitara pernah jebol dan diduga air dari Situ Pitara jatuh ke eks pembuatan bata tersebut. Dalam perkembangan selanjutnya, proses peningkatan tinggi air di lio semakin meningkat sehingga membentuk rawa besar yang kemudian dikenal dengan nama Situ Rawa Besar.  Dugaan lain bukan akibat jebolnya Situ Pitara tetapi sengaja dialirkan ke eks lio untuk area konservasi atau mengurangi tekanan banjir pada kanal di hilir di Tanah Baroe. Situ-situ buatan ini diduga cukup banyak jumlahnya. Salah satu situ di Bandoeng, Situ Aksan, proses pembentukannya mirip dengan proses pembentukan Situ Rawa Besar. Sama-sama eks lio.  

Satu hal yang menarik tentang Situ Rawa Besar ini pernah diberitakan sebagai situs untuk penyelenggaraan pesta warga (lihat De Indische courant, 08-09-1936). Pesta warga yang dimaksud adalah pesta mengambil ikan dari situ. Pada masa kini, pesta semacam ini dikenal dengan ‘ngubek situ’. Penyelenggara membagi tiga bagian situ untuk membuat kategori yang mana para pesertanya berbeda untuk setiap bagian situ. Pada saat pesta ini penonton disediakan minuman yang melimpah, dan setiap peserta mendapatkan ikan yang dianggap besar para penonton bertepuk tangan.


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

3 komentar:

  1. Salam.
    Jika dilihat dari peta, Situ Pitara bukanlah dibelakang Transmart (sekarang). Melainkan di lokasi pemancingan dekat jembatan Pitara (yg 2018 baru direnovasi). Terlihat juga di peta bahwa Situ Pitara lebih dekat dengan kalilicin dan jalan Wadas. Untuk masalah sodetan, sepertinya sodetan yg dimaksud itu adalah kanal yg sekarang melintasi jalan raya sawangan (dekat Pasadena), menuju jalan swadaya (Tanah Baru), melintasi kanal Kalibaru melalui terowongan. Kemudian menyusuri belakang Perumnas. Sampai di dekat Gong Bolong, sodetan bersatu dengan kanal Kalibaru. Jadi, untuk lahan yg sekarang adalah lab. Perikanan sangat dimungkinkan itu merupakan bekas sebuah situ yg berbeda dengan Situ Pitara.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih terhadap apresiasinya. Saudara telah mengoreksi dengan baik dan telah meningkatkan pemahaman dan pengertahuan kita. Benar bahwa situ Pitara tersebut bukan yang di belakang Careefour tetapi yang di dekat POM Bensin (daerah aliran sungai Krukut yang bersumber dari Situ Tjitajam). Terusan dari kanal Kali Baru Ratu Jaya (tidak dialirkan ke Situ Pitara) tetapi langsung ke arah dekat stasion yang kemudian didistrubusikan sebagai ke arah Pondok Tjina dan sebagian yang lain ke arah Jalan Sawangan dan jalan Nusantara. Aliran melalui jalan Sawangan dan jalan Tanah Baru (belakang Perumnas) bersatu dengan aliran dari kanal Situ Pitara yang selanjutnya sebagian besar ke Situ Babakan. Aliran melalui jalan Nusantara menuju Situ Kladen. Dengan demikian, lab. Perikanan bukan eks Situ Pitara.

      Hapus
    2. Berarti kemungkinan terowongan yg dimaksud mungkin ada dibawah jalan Tanah Baru (jemblongan, dekat Gg Swadaya) dan kanal Kalibaru. Seandainya terowongan tersebut bisa dilakukan eskavasi mungkin bisa menunjukan sesuatu

      Hapus