Senin, 07 Agustus 2017

Sejarah Kota Depok (34): Seputar Berakhirnya Era Kolonial Belanda; Situasi dan Kondisi di Tanah-Tanah Partikelir di Onderdistrict Depok

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Depok dalam blog ini Klik Disini


Sebagaimana di seluruh Hindia Belanda, sejak berabad-abad kolonial Belanda berlangsung, juga di Depok tidak menduga secepat ini harus berakhir dan digantikan oleh pendudukan Jepang. Bagaimana situasi dan kondisi di Depok jelang berakhirnya era kolonial Belanda mungkin menarik untuk ditelusuri. Kita telah menelusuri bagaimana Belanda mengawali kolonial di Depok, kini giliran kita untuk melihat bagaimana kolonial berakhir di Depok. Ibarat lirik sebuah lagu ‘Kau yang memulai, Kau yang mengakhiri’.

Hilang lonceng Depok buatan 1675 (ft 1930)
Munculnya landerien dan adanya Land Depok berawal dari defisit finansial VOC, lalu dewan VOC mulai menjual lahan kepada pihak lain (swasta) yang dikenal dengan munculnya Tanah Partikelir. Yang terbilang awal dalam hal ini Land Depok, yang dibeli oleh Cornelis Chastelein tahun 1705 yang kemudian satu dekade berikutnya properti diserahkan (diwariskan) kepada penyewa (budak) yang lebih dahulu telah menjadi Kristen yang kelak disebut Gemeente Depok. Satu lagi land yang menarik ketika VOC jual lahan lagi yang dikenal sebagai Land Campong Baroe yang dibeli van Imhoff yang kemudian diatasnya didirikan villa peristirahatan yang kelak menjadi cikal bakal munculnya Istana Buitenzorg.

Semua permulaan itu ternyata kemudian ada batasnya. Pendudukan Jepang adalah batas akhir kolonialisme Belanda sejak era VOC. Namun bagaimana situasi jelang berakhirnya kolonial Belanda di Depok sebelum pendudukan Jepang tidak pernah dilukiskan. Apa menariknya? Itu yang menjadi pertanyaan. Mari kita telusuri.

Land Depok Berakhir

Land Depok hanya berlaku sejak era VOC hingga berakhirnya Pemerintahan Hindia Belanda. Persoalan lahan-lahan partikelir ditulis oleh Jan D. Rempt yang dimuat pada Haagsch maandblad / onder leiding van C. Easton en S.F. van Oss, 15-01-1943.

Haagsch maandblad, 15-01-1943.
Pada awal era Pemerintah Hindia Belanda muncul (kesadaran) kebijakan membeli kembali lahan-lahan swasta. Kepemilikan lahan pribadi dianggap pemerintah bisa membawa dampak munculnya feodal yang kuat. Pemerintah mengambil alih lahan untuk kepentingan umum (publik). Pemerintah mengawali dengan membeli lahan tetangga Land Kampong Baroe, Land Bloeboer yang dijadikan sebagai ibukota Buitenzorg (yang kini menjadi pusat kota Bogor). Di berbagai tempat lahan pribadi juga diakuisisi pemerintah. Kebijakan ini diperkuat dengan Aturan 1836 yang kemudian diperkuat dengan Aturan 1854. Namun pemerintah kekurangan uang, program pembelian lahan swasta tidak tuntas. Pada tahun 1938 hanya sekitar 20.500 hektar lahan yang diakuisi pemerintah dengan membeli dengan tebusan senilai f2.678.000. Hanya pada tahun 1919 yang terjadi secara signifikan, ketika lebih dari 168.000 ha telah dibeli kembali dengan nilai ƒ21,8 juta. Sejak 1932, hampir tidak ada pembelian yang dapat dilakukan oleh pemerintah. Secara total, sampai tahun 1938 pemerintah telah membeli senilai f84.300.000 (658.000 Ha). Pada 1938 tanah pribadi yang tersisa di dalamnya terdapat populasi 1.141.601 jiwa, yang mana 1.103.808 jiwa pribumi. Program pengambialihan lahan-lahan pribadi ini terus berlangsung hingga sebelum munculnya pendudukan Jepang. Namun apa daya, tidak semua lahan partikelir terbebaskan, termasuk Land Depok.

Persoalan menjadi lebih pelik. Pemerintah Hindia Belanda kemudian berurusan dengan permasalahan tahap kedua: semua kepemilikan tanah pribadi ditransfer ke pemerintah Jepang. Ini dengan sendirinya akan mengakhiri tanah pribadi, dari imperia ke imperia. Pemerintah Hindia Belanda yang notabene juga Kerajaan Belanda boleh jadi pemilik lahan akan menuntut ganti rugi di Eropa kepada pemerintah Kerajaan Belanda (tentu saja bukan ke Jepang yang tengah menduduki). Apalagi pada tahun 1912 sudah ada dua lahan perkebunan yang dialihkan swasta kepada Inggris. Tentu makin runyam.

Situasi di Depok

Jelang berakhirnya kolonial di Hindia Belanda adalah puncak-puncak pencapaian di Depok. Secara khusus Land Depok mendapat keuntungan dari peradaban kolonial Belanda, namun sebagaimana kita lihat nanti, pendudukan Jepang adalah titik balik pencapaian kehidupan sosial dan ekonomi di Depok. Salah satu indikasi kemajuan di Depok adalah adanya sekolah Eropa (ELS).

Bataviaasch nieuwsblad, 19-09-1941
Pada tahun 1941 ELS Depok dalam top performance. Kepala sekolahnya yang berprestasi dipindahkan ke ELS di Batavia (De Indische courant, 09-08-1941). ELS adalah sekolah Eropa milik permerintah, sekolah paling berkualitas untuk tingkat sekolah dasar. Bahasa pengantar Bahasa Belanda lulusannya setara dengan sekolah dasar di Eropa. ELS dibangun di kota dimana ditemukan populasi orang Eropa cukup banyak seperti di Buitenzorg dan Depok. Di Padang Sidempoean tahun 1887 ELS didirikan, namun karena populasi orang Eropa semakin berkurang di Padang Sidempoean sejak ibukota Residentie Tapanoeli dipindah dari Padang Sidempoean ke Sibolga, maka ELS Padang Sidempoean ditutup tahun 1903 dan kemudian di Sibolga ELS didirikan.

Warga Depok juga menjadi bagian penting dari keanggotaan dewan di Regentschapraad di Buitenzorg. Ada dua anggota dewan Regentschapraadwarga yang tinggal di Depok yakni LJC Kok seorang pensiunan pejabat PTT dan D. Bacas, sekretaris Gemeente Bestuur Depok (Bataviaasch nieuwsblad, 19-09-1941).

Anggota Dewan baik kota (gemeente) maupun kabupaten (regentsahap) terbagi tiga golongan: Golongan Belanda, Golongan yang disetarakan Belanda dan Golongan non Belanda. Kok adalah wakil golongan Belanda dan Bacas adalah golongan yang disetarakan Belanda. Yang mewakili golongan non Belanda salah satu diantaranya Said Hoesin bin Oemar Shahab, seorang pedagang di Tjibinong. Bataviaasch nieuwsblad, 01-10-1941 melaporkan LJC Kok termasuk salah satu kandidat untuk dewan Provinsi (periode berikutnya).

Regentschapraad Buitenzorg pada sidang terakhir dari berakhirnya masa keanggotaan empat tahun (1941) melakukan sidang di gedung yang baru dibangun di Panaragan, Buitenzorg.

Beberapa keputusan penting dalam masa empat tahun ini adalah pendirian tiga sekolah dasar dan membuka dua sekolah lanjutan. Selain itu pembangunan jalan menuju Djasinga ke Tendjo dan pembangunan jembatan Batoetoelis.  

Di Batavia dalam debat di Dewan pusat (Volksraad) Mr. Soangkoepon mengkritik pemerintah yang tidak peduli kondisi para pensiunan yang hidup pas-pasan sampai kesulitan membiayai anak-anak mereka yang bersekolah. Soangkoepon meminta pemerintah menaikkan gajih pensiun karena tidak sedikit anak-anak mereka akan akan tertolong yang tengah kuliah di perguruan tinggi (Bataviaasch nieuwsblad, 10-09-1941).  Mr. Soangkoepon juga meminta pemeritah memberikan subsidi yang lebih besar kepada Sekolah Tinggi Teknik (Technische Hoogeschool) di Depok agar biaya sekolah ini dapat dijangkau para orangtua termasuk para pensiunan.

Pada saat Medan masih kampung, Padang Sidempoean sudah kota
Mangaradja Soangkoepon adalah anggota dewan pusat (Volksraad) untuk periode yang keempat. Mr. Soangkoepan, alumni sekolah hukum di Leiden terpilih sebagai anggota dewan sejak 1927 dari dapil Sumatra’s Oostkust (Sumatra Timur beribukota Medan). Abdul Firman Siregar gelar Mengaradja Soangkoepon adalah kelahiran Padang Sidempoean yang mengikuti pendidikan dasar (ELS) di Medan. Anggota Volksrad dari Tapanoeli adalah Dr. Abdul Rasjid, kelahiran Padang Sidempoean yang juga merupakan adik kandung Soangkoepon. Dua anggota dewan pusat lainnya asal Padang Sidempeoan pada periode ini adalah Mr. Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D), alumni Leiden mewakili golongan pendidikan (guru) dan Dr. Radjamin Nasution dari dapil Oost Java sebagai anggota pengganti dari Partai Parindra. Radjamin dan Rasjid alumni STOVIA. Kelak, Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia (sepupu Amir Sjarifoeddin) menjadi Menteri Pendidikan RI yang kedua menggantikan Ki Hadjar Dewantara. Sedangkan Radjamin Nasution kelak menjadi wali kota pertama Kota Soerabaja. Pada saat itu pendiri dan ketua organisasi pensiunan pegawai pemerintah seluruh Hindia Belanda di Batavia adalah Soetan Pangoerabaan Pane, seorang pensiunan guru yang menjadi pengusaha. Soetan Pangoerabaan Pane, kelak dikenal sebagai ayah dari Armijn Pane, Sanoesi Pane dan Lafran Pane. Untuk sekadar diketahui Mangaradja Soangkoepon dan Soetan Pangoerabaan Pane sama-sama berasal dari Padang Sidempoean. Untuk sekadar diketahui, saat itu para pensiunan pegawai asal Padang Sidempoean tidak kembali ke kampung halaman tetapi lebih memilih menetap di luar kota terutama di Lenteng Agoeng dan Pondok Tjina. Sekolah Tinggi IISIP di Lenteng Agoeng didirikan oleh seorang mantan wartawan, AM Hoetasoehoet eks ketua tentara pelajar di Padang Sidempoean pada era perang kemerdekaan.

Tentu saja di Depok ada yang berasal dari Padang Sidempoean. Salah satu yang terkenal adalah Emil Harahap, seorang pendeta muda yang disekolahkan oleh ayahnya ke Depok tetapi tidak pernah kembali ke kampung. Meski tinggal di Depok, Emil juga pernah menjadi anggota dewan kota (gemeenteraad) Batavia. Pada tahun 1917 Emil Harahap dan pendeta D Ikens di Depok menerbitkan kamus bahasa Melayu-Belanda. Satu anak Emil Harahap yang terkenal kelahiran Depok adalah Frits Kilian Nocolas atau sering disingkatnya sebagai FKN Harahap. Seperti ayahnya, FKN Harahap juga menyukai permainan catur. FKN Harahap adalah orang pertama Indonesia yang mengalahkan juara catur Belanda Dr. Euwe (juara dunia). Sebelum Indonesia merdeka, FKN adalah ketua Perhimpoenan Indonesia, perhimpunan mahasiswa Indonesia di Belanda (lihat De bevrijding: weekblad uitgegeven door de Indonesische Vereniging Perhimpoenan Indonesia, 15-05-1945).

Kondisi di Depok

Di dalam Land Depok sendiri dilakukan pesta ‘ngubek situ’ di Rawa Besar dengan cara memancing. Penyewa situ, C Leander mengizinkan dua hari untuk memancing bebas di dalam situ. Sebanyak [tidak terbaca jelas] pemancing berpartisipasi dalam hari pertama pesta memancing ini. Banyak orang-orang ETI (Eropa/Belanda) dan para pemilik toko. Pesta memancing akan dilakukan lagi hari Minggu berikutnya (Bataviaasch nieuwsblad, 09-09-1941).

Beberapa tahun sebelumnya ‘ngubek situ’ di Rawa Besar dilakukan dengan cara menangkap langsung yang dibagi ke dalam tiga kelompok (situ disekat menjadi tiga bagian).

Di tempat lain, seorang warga Depok bernama Stefanus Jonathan di Meester Cornelis dihukum denda f25 dan kurungan selama 25 hari karena tertangkap membeli 70 mata opium di Meester Cornelis. Terdakwa membeli untuk kebutuhan sendiri dan sebagian akan dijualnya di Depok (Bataviaasch nieuwsblad, 10-09-1941).

Industri di Depok juga terus berkembang. Melkerij ‘Vita’ di Depok masih mendapat pengakuan dari pemerintah sebagai produk susu kualitas kelas-1 hasil dari pengujian laboratorium, semacam BPOM ( Bataviaasch nieuwsblad, 03-12-1941). Sementara seseorang memasang iklan untuk mencari seorang pembantu yang memenuhi syarat.

Bataviaasch nieuwsblad, 13-02-1942
Bataviaasch nieuwsblad, 23-12-1941: ‘Untuk Depok. Untuk membantu nyonya ingin seorang wanita rumah tangga yang tegas dan mampu mengawasi dua anak usia sekolah. Persyaratan: memasak yang baik dapat membentuk dan pemahaman tentang menjahit. Untuk itu pelayan yang baik diberi gaji yang baik. Surat Lamaran No. M 8618 Bat. Nieuwsblad’.

Hal yang bersifat keluarga di Depok juga terlaporkan dengan baik. Willy Cornelius Loen yang bertempat dinggal di Tjilatjap menikah dengan gadis Depok bernama Charlotte Leander. Upacara perkawinan dilangsungkan pada tanggal 13 Februari 1942 (Bataviaasch nieuwsblad, 13-02-1942).

LJC Kok tidak menjadi anggota dewan provinsi, tetapi tetap menjadi anggota dewan kabupaten Buitenzorg. Ini terdeteksi kehadiran Kok sebagai anggota ketika dewan kabupaten melakukan sidang perdana untuk anggota dewan periode empat tahun ke depan (Bataviaasch nieuwsblad, 11-02-1942). Kok meminta perhatian anggota dewan untuk meningkatkan anggaran bagi desa-desa. Di Onderdistrict Depok, menurut Kok banyak desa-desa di dalam particulier land yang adakalanya tersembunyi dan kurang tesentuh oleh pemerintah terutama dalam bidang pendidikan.  

Era Kolonial Belanda Berakhir

Di Surabaya, awal kedatangan militer Jepang diketahui ketika Radjamin Nasution tiba-tiba mendapat surat dari anak perempuannya, seorang dokter yang bersuamikan dokter juga, Dr. Amir Hoesin (Siagian) yang sama-sama berdinas di Tarempa, Tandjong Pinang, Kepulauan Riau. Surat ini ditujukan kepada khalayak dan cepat beredar, karena termasuk berita penting masa itu. Surat kabar Soeara Oemoem yang terbit di Surabaya mempublikasikan isi surat keluarga (anak kepada ayahnya) tersebut menjadi milik public sebagaimana dikutip oleh koran De Indische Courant tanggal 08-01-1942. Berikut isi surat tersebut.
 .
Tandjong Pinang, 22-12-194l.

Dear all. Sama seperti Anda telah mendengar di radio, Tarempa dibom. Kami masih hidup dan untuk ini kita harus berterima kasih kepada Tuhan. Anda tidak menyadari apa yang telah kami alami. Ini mengerikan, enam hari kami tinggal di dalam lubang. Kami tidak lagi tinggal di Tarempa tapi di gunung. Dan apa yang harus kami makan kadang-kadang hanya ubi. Tewas dan terluka tidak terhitung. Rumah kami dibom dua kali dan rusak parah. Apa yang bisa kami amankan, telah kami bawa ke gunung. Ini hanya beberapa pakaian. Apa yang telah kami menabung berjuang dalam waktu empat tahun, dalam waktu setengah jam hilang. Tapi aku tidak berduka, ketika kami menyadari masih hidup.

Hari Kamis, tempat kami dievakuasi….cepat-cepat aku mengepak koper dengan beberapa pakaian. Kami tidak diperbolehkan untuk mengambil banyak. Perjalanan menyusuri harus dilakukan dengan cepat. Kami hanya diberi waktu lima menit, takut Jepang datang kembali. Mereka datang setiap hari. Pukul 4 sore kami berlari ke pit controller, karena pesawat Jepang bisa kembali setiap saat. Aku tidak melihat, tapi terus berlari. Saya hanya bisa melihat bahwa tidak ada yang tersisa di Tarempa.

Kami mendengar dentuman. Jika pesawat datang, kami merangkak. Semuanya harus dilakukan dengan cepat. Kami meninggalkan tempat kejadian dengan menggunakan sampan. Butuh waktu satu jam. Aku sama sekali tidak mabuk laut….. Di Tanjong Pinang akibatnya saya menjadi sangat gugup, apalagi saya punya anak kecil. Dia tidak cukup susu dari saya...Saya mendapat telegram Kamis 14 Desember supaya menuju Tapanoeli...Saya memiliki Kakek dan bibi di sana…Sejauh ini, saya berharap kita bisa bertemu….Selamat bertemu. Ini mengerikan di sini. Semoga saya bisa melihat Anda lagi segera.

Penyerangan oleh Jepang dimulai dengan pengeboman di Filipina dan Malaya/Singapura. Pemboman oleh Jepang di Tarempa merupakan bagian dari pengeboman yang dilakukan di wilayah Singapura. Tarempa (Natuna) sangat dekat dari Singapura.

Tanggal 3 Februari 1942 perang benar-benar meletus di Kota Surabaya. Pasukan Jepang selama satu bulan beberapa kali mengebom Kota Surabaya. Koran Soerabaijasch Handelsblad yang menjadi salah satu sumber utama artikel ini, lama tidak terbit. Baru terbit kembali pada tanggal 26-02-1942. Dalam terbitan tersebut, dilaporkan terjadi perubahan di Dewan Kota. Radjamin diangkat sebagai Wakil Ketua.

Pada tanggal 8 Maret 1942 pemerintahan Belanda di Indonesia benar-benar takluk tanpa syarat kepada pasukan Jepang. Pada hari itu juga kekuasaan Gemeente (Pemerintahan Kota) Surabaya berpindah tangan kepada militer (pasukan tentara) Jepang. Lantas Dewan Kota dibubarkan. Namun demikian, pada fase konsolidasi ini, pihak Jepang masih memberi toleransi dua kepemimpinan di dalam kota. Walikota Fuchter masih dianggap berfungsi untuk kepentingan komunitas orang-orang Eropa saja. Sementara walikota di kubu Indonesia dibawah perlindungan militer Jepang ditunjuk dan diangkat Radjamin Nasoetion--Wethouder, mantan anggota senior dewan kota yang berasal dari pribumi.

Jepang memilih Radjamin dibandingkan yang lain karena Radjamin satu-satunya tokoh pribumi di Surabaya yang memiliki portfolio paling tinggi. Radjamin selain dikenal sebagai Wethouder (tokoh anggota dewan kota) yang pro rakyat. Radjamin juga diketahui secara luas sangat dekat dengan rakyat dan didukung tokoh-tokoh ‘adat’ di Surabaya. Radjamin juga berpengalaman dalam pemerintahan Belanda sebagai pejabat tinggi (eselon-1) Bea dan Cukai. Jangan lupa, Radjamin juga seorang yang cerdas, dokter, lulusan perguruan tinggi STOVIA di Batavia (teman sekelas Dr. Soetomo).

Di Depok sejak pendudukan Jepang, luput dari perhatian. Tidak ada lagi berita-berita. Berita dari dewan kabupaten Buitenzorg yang mana Kok meminta perhatian untuk menaikkan anggaran pembangunan desa boleh jadi merupakan berita terakhir di Depok sebelum era kolonial Belanda benar-benar berakhir dengan datangnya militer Jepang. Semua sunyi senyap di Depok.


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar