Minggu, 10 Desember 2017

Sejarah Kota Surabaya (16): Titik Kilometer Nol Kota Surabaya di Kantor Pos Soerabaja; Jalan Pos Trans-Java Era Daendels, 1810

*Semua artikel Sejarah Kota Surabaya dalam blog ini Klik Disini.


Jalan pos adalah jalan yang menghubungkan tempat-tempat utama (hoofdplaat). Di setiap hoofdplaat (ibukota) terdapat pos. Diantara pos dua hoofdplaat terdapat beberapa pos kecil. Jarak antar pos kecil ini disebut satu Etappe, yaitu jarak dimana setiap perjalanan angkutan pos dengan menggunakan kuda harus beristirahat.

Postwagen di Jawa, 1867
Dalam keputusan Gubernur Jenderal Daendles jalan pos trans Jawa dimulai dari Anjer (Bantam) hinggi Panaroekan. Dalam Aturan Umum yang dipublikasikan, nama-nama tempat utama (hoofdplaats) sebagai pos-pos utama: Bantam, Batavia, Buitenzorg, Tjisaroa, Baybang, Sumadang, Tjirebon, Tagal. Paccalongan, Samarang, Joanna, Bandjer, Sidaijoe dan Soerabaja. Di dalam aturan umum ini Jawa hanya dibagi ke dalam empat distrik saja: Bantam, Batavia, Semarang dan Soerabaja. (lihat edisi perdana Bataviasche koloniale courant, 05-01-1810). Dalam aturan umum ini bahkan nama Bandong belum disebut.  

Apa hubungan antara kota utama (hoofdplaat) dengan jalan pos (post-weg)? Dimana (kantor) pos di rute jalan pos didirikan? Apakah (kantor) pos menjadi titik nol dari hoofdplaat? Semua itu tentu menarik untuk diketahui. Lantas dimana (titik) Kilometer Nol Kota Surabaya pada masa ini. Mari kita telusuri.

Jalan Pos Trans-Java

Pada masa permulaan pemerintahan Daendels (1808), pembangunan jalan pos Trans-Java adalah program nasional. Semua Residen di wilayah rute jalan pos terlibat penuh. Rute jalan pos tersebut (tentu saja) mengikuti garis potensi ekonomi dan perdagangan yang paling potensial. Residen bekerjasama dengan para Bupati, dan para bupati (dengan adanya gaji dan janji) mengerahkan semua penduduk dewasa aktif. Berdasarkan Generaal Reglement 1810 kota-kota penting (hoofdplaat) adalah Bantam, Batavia, Buitenzorg, Sumadang, Chirebon, Semarang dan Soerabaja.

Bataviasche koloniale courant, 05-01-1810
Pada peta-peta sebelumnya rute jalan pos belum dipetakan. Rute jalan pos melalui tempat utama sudah dipetakan pada Peta 1818. Selain nama-nama tempat utama yang telah diumumkan sudah teridentifikasi (dalam Peta 1818) nama tempat kedua: Tagal, Paccalongan, Demak, Joanna, Rembang, Sidaijoe, Grisik, [Soerabaja], Pasaroeang, Besoeki, Panaroekan dan Banjowangi.

Penetapan rute dan tempat utama dan tempat-tempat di bawahnya (hingga ukuran jarak terdekat antara dua tempat yang disebut etappe) berdasarkan peraturan perundang-undang (reglement atau stadblad) dan diumumkan ke publik. Penetapan rute jalan pos hingga pada jarak terdekat sudah selesai pada tahun 1818 (terutama di jalur jalan pos Trans-Java). Progam jalan pos ini mengalami kelambatan sejak diundangkan Daebdles (1810), karena Inggris tidak merealisasikannya (1811-1816). Setelah Pemerintah Hindia Belanda berkuasa kembali )1817) program jalan pos dilanjutkan. Program jalan pos adalah urat nadi perkonomian (untuk memenuhi tujuan utama kolonial Belanda).

Jalan Pos Bandoeng-Soemadang 1850
Jalan pos di luar Jawa setelah jalan pos Trans-Java adalah jalan pos Padang Sibolga. Penetapan jalan pos ini secara bertahap: awalnya Padang-Fort de Kock. Dalam perkembangannya Padang, Fort de Kock, Padang Sidempoean dan Sibolga. Dalam Keputusan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda No. 22, tanggal 21 November I862 yang dimuat dalam lembaran pemerintah (Staatsblad) No. 141, jalan pos (jalan Negara) ruas Tapanuli merupakan bagian dari dari jalan pos Sumatra’s Westkust dari Padang ke Fort de Kock, lalu Kotanopan, Padang Sidempoean dan Sibolga. Dalam keputusan ini, diantaranya dinyatakan, jalan pos (utama) di wilayah hukum Gouvernement Sumatra’s Westkust adalah sebagai berikut: dari Kotta Nopan ke Laroe (½ etappe), dari Laroe ke Fort Elout (Penjaboengan) (1 etappe), dari Fort Elout (Penjaboengan) ke Siaboe (1 etappe), dari Siaboe ke Soeroematingi (1 etappe), dari Soeroematingi ke Sigalangan (1 etappe), dari Sigalangan ke Padang Sidempoean (1 etappe), dari Padang Sidempoean ke Panabassan (1 etappe), dari Panabassan ke Batang Taro (1 etappe), dari Batang Taro ke Loemoet (1 etappe), dari Loemoet ke Parbirahan (1 etappe), dari Parbirahan ke Toeka (½ etappe), dari Toeka ke Sibogha (½ etappe). Jalan Pos Bandoeng-Soemadang 1850

Bataviasche courant, 22-12-1827
Selama 10 tahun pertama, jalan pos utama di Jawa masih terbatas penggunaannya untuk rute pergerakan militer dan pengiriman (produksi ekspor dan barang impor). Terutama di Jawa, situasi dan kondisi belum penuhnya kondusif karena Perang Pengiriman barang-barang pos dan komoditi masih dikawal oleh militer. Namun demikian, di sekitar kota-kota utama sudah mulai dilakukan layanan pos (non-militer). Misalnya ruas jalan Batavia-Buitenzorg dibuat dalam beberapa etappe: Batavia, Bidara Tjina, Tandjong (kini Pasar Rebo), Tjimanggis, Tjibinong, Tjilioear dan Buitenzorg.

Angkutan orang (sedan) di Jawa, 1867
Residen Soerabaja pada tahun 1827 mulai mengintroduksi layanan pos sipil (Bataviasche courant, 22-12-1827). Disebutkan ada empat tempat yang dijadikan sebagai stasion (pos), yakni: Soerabaja (utama), Kedoong, Sidakare dan Branjangan. Sehubungan dengan layanan pos pemerintah ini, Residen melakukan tender pengadaan (dengan ketentuan subkontrak selama waktu tertentu). Untuk hoofdstasion Soerabaja dibutuhkan satu set kereta kuda, dua set pedati dan dua kuda beban yang dilengkapi.

Konvoi Pedati di Padalarang, Preanger, 1875
Pengaturan penggunaan kendaraan gerobak pedati di jalan raya (pos) diatur dalam Art. 2 der resolutie van 16 April 1831 (Staatsblad No. 27), Hoofdstasion Soerabaja ini berada di dekat rumah/kantor Residen Soerabaja. Hoofdstasion ini berada persis di sisi timur jalan pos Trans-Java ruas jalan Gresik, Soerabaja dan Pasoeroean. Seperti halnya di tempat lain, hoofdstasion tidak jauh dari pusat (pemimpin tertinggi) pemerintahan. Di Batavia dekat dengan Istana Gubernur Jenderal, di Buitenzorg lokasi hoofdstasion tidak jauh dari rumah Residen, tepatnya di Hotel Buitenzorg (kini Hotel Salak). Sementara di Bandoeng tidak jauh dari rumah Controleur. Hoofdstasion di Bandoeng dan Soerabaja kelak menjadi Kantor Pos Besar.

Kilometer Nol

Kilometer Nol tidak dikenal di era awal Belanda. Ukuran jarak yang digunakan adalah mil (mijlpaal). Namun demikian, identifikasi Kilometer Nol sudah dilakukan. Hal ini karena diperlukan pedoman untuk menarik jarak ke suatu tempat baik di dalam kota maupun jalur transportasi ke luar kota. Namun kilometer nol ini tidak berada di hoofdstasion melainkan di suatu tempat tertentu (yang cenderung berada di persimpangan jalan strategis). Pertanyaannya: Dimana lokasi gps Kilometer Nol di Kota Soerabaja. Angkutan orang (sedang) 1880

Peta Soerabaja 1818
Kilometer Nol diduga kuat berada di suatu lokasi di jalan Pos (Postweg) Trans-Java yang menjadi kantor pos. Kantor pos ini kini dikenal sebagai Kantor Pos Besar Surabaya. Jalan pos dibangun pada era Daendels (1810). Pada Peta 1818, jalan pos Trans-Java melalui Rumah Bupati  (regent). Di sekitar rumah Bupati ini bertemu jalan yang dari arah area orang Eropa/Belanda  dan perkampungan Tionghoa.

Pada Peta 1867 jalan pos telah bergeser menjadi jalan Jembatan Merah. Pergeseran jalan pos ini sehubungan dengan pembangunan jembatan merah di atas Kali Mas. Jalan baru ini kemudian disebut Greesik weg ke arah utara (kini Jalan Rajawali). Sedangkan yang ke selatan disebut weg naar Banjowangi. Berdasarkan Peta 1880 kantor pos ini berada di dekat jembatan (sebelah timur Jembatan Bibies), tidak jauh dari stasion kereta api. Sedangkan berdasarkan foto 1886 lokasi kantor Pos dan Telegraf berada di dekat jembatan tetapi di sisi yang berseberangan dengan Jembatan Bibis (kira-kira lokasi Kantor Pos yang sekarang).

Kantor Pos Surabaya, 1885
Pergeseran jalan pos sebelumnya pernah terjadi di kota lain. Di Buitenzorg, jalan pos awalnya melalui kebon raya (disamping istana Gubernur Jenderal), namun karena ada perluasan kebon raya (1860an), jalan pos bergeser ke arah selatan (seperti yang terlihat pada masa ini). Dengan kata lain, jalan pos awalnya garis lurus antara Jalan Sudirman dan Jalan Suryakencana bergeser menjadi Jalan Sudirman berbelok ke Jalan Juanda dan kembali ke Jalan Suryakencana yang sekarang. Hal yang sama juga terjadi pada tahun 1829 ketika jalan pos di ruas Preanger yang sebelumnya di ketinggian berbelok-belok (sekitar Lembang) bergeser ke area yang lebih rendah di kantor controleur yang baru melintasi sungai Tjikapoendong yang terkesan lebih lurus dari arah Tjimahi hingga ke arah Oedjoeng Brung (kini jalan lurus itu menjadi pusat kota Jalan Asia-Afrika). Tentu saja jalan pos di Batavia dan Semarag juga bergeser seiring dengan perkembangan kota.

Kantor Pos Surabaya, 1930
Jalan pos telah mengalami perubahan di berbagai kota. Pergeseran-pergeseran jalan pos tersebut disebabkan alasan-alasan yang berbeda. Namun demikian, jalan pos tetaplah jalan pos. Hal ini karena jalan pos adalah penanda navigasi utama selama era transportasi kereta kuda dan pedati kerbau. Jalan pos ini mulai redup ketika di beberapa wilayah muncul moda transportasi yang baru: kereta api. Kantor Pos Surabaya juga telah mengalami relokasi dari tempat yang lama dekat stasion ke lokasi yang baru di dekat (seberang) rumah Bupati. Ini menandai bahwa pusat pemerintahan telah bergeser dari Jembatan Merah (kota lama) ke Jembatan Bibis (kota baru). Dengan kata lain dari area benteng (di masa lampau) ke area regent van Soerabaja (aloon-aloon). Area rumah bupati/regent van Soerabaja ini kini menjadi lokasi Bank Indonesia.

Lokasi kantor pos Surabaya telah mengalami relokasi dari seberang Kali Mas di Jembatatn Bibis ke lokasi yang baru di aloon-aloon (seberang rumah bupati) pada akhir 1880an. Pada tahun 1920an wajah kantor pos diubah dengan bentuknya yang sekarang (mengikuti wajah kantor pos di Batavia dan Bandoeng).

Berbeda dengan kantor pos Soerabaja, kantor pos Bandoeng tidak pernah mengalami relokasi sejak awal (1829). Yang mengalami relokasi adalah rumah Bupati/Regent Bandoeng dari Dajeuh Kolot ke jalan pos yang baru pada tahun 1829 bersamaan dengan pembangunan kantor pos Bandoeng. Kantor Pos Bandoeng dan rumah Bupati berseberangan (sebagaimana kemudian kantor pos Soerabaja mengambil lokasi di seberang rumah Bupati Soerabaja).

Di Bandoeng, di sekitar pos muncul perkampoengan Tionghoa (pecinan), sementara di Soerabaja kantor pos menjauh dari perkampoengan Tionghoa (pecinan). Sedangkan di Buitenzorg kantor pos tetap berada di area orang-orang Eropa, Rumah Bupati berada di perkampoengan penduduk asli di Empang dan pecinan berada area terpisah di luar area Eropa/Belanda dan di luar perkampuengan asli.

Dengan demikian, lokasi Kilometer Nol dapat berubah sejak era Daendels. Namun posisi gps-nya bergeser sesuai dengan perubahan perkembangan kota. Posisi kilometer nol Surabaya juga telah mengalami pergeseran dari rumah Bupati ke Jembatan Merah dan kemudian bergeser lagi ke aloon-aloon (area bupati) yang kini posisi gps-nya di Kantor Gubernur. Hal ini tidak terjadi di Batavia tetap berada di Kota (Stadhuis). Pada era Daendels, jalan pos dari Bantam melalui Tangerang lalu menuju Angke dan terus ke Kota, lalu dari Kota menuju Weltevreden (Gambir) lalu Bidara Tjina hingga ke Buitenzorg. Namun belakangan kilometer nol tersebut telah dipindah ke (lapangan) Monumen Nasional. Yang tetap konsisten kilometer nol adalah Kota Bandoeng (sejak 1829 ketika jalan posnya sendiri bergeser dari Lembang ke Bandoeng).

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar