Selasa, 23 Januari 2018

Sejarah Kota Depok (44): Jembatan Kuno ‘Indiana Jones’ di Srengseng Sawah Jakarta; Sisa Situs Kuno Ciliwung Era ‘Zaman Now’

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Depok dalam blog ini Klik Disini


Baru-baru ini Gubernur Provinsi DKI Jakarta, Anies Baswedan menemukan jembatan gantung di Jalan Gardu Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Jembatan ini menghubungan wilayah Jakarta dan Depok di atas sungai Ciliwung. Jembatan gantung ini, menurut Gubernur sungguh sangat mengkhawatirkan bagi pengguna. Ketika coba melewatinya, jembatan gantung di atas sungai Ciliwung ini Gubernur Anies Baswedan menganggapnya bagaikan jembatan ‘ala’ Indiana Jones (dalam film Indiana Jones).

Peta Srengseng Sawah, 1904 (sekitar Jalan Gardu sekarang)
Nun di sana, tidak jauh dari jembatan gantung Srengseng Sawah, di pusat wilayah DKI Jakarta, jembatan-jembatan kota sudah bertaraf milenium di ‘zaman now’, seperti Jembatan Semanggi Baru. Sementara jembatan gantung di Srengseng Sawah yang menghubungan wilayah Depok dan Jakarta masih menggunakan teknologi kuno dengan model jembatan suspensi di era ‘zaman old’. Sebagaimana lazimnya, jembatan yang berlokasi di perbatasan selalu dilupakan karena statusnya selalu dalam posisi ‘status-quo’. Dari penemuan jembatan kuno ini di tengah metropolitan Jakarta itu, muncul inisiatif Gubernur untuk berkoordinasi dengan Wali Kota Depok. Inisiatif pejabat tampaknya mulai menjadi tradisi baru di 'zaman old' untuk melihat kembali situs-situs kuno di 'zaman now'.   

Penerapan teknologi jembatan gantung sendiri sesungguhnya tidak ada salahnya digunakan bahkan di era modern masa kini. Sisi inilah yang menjadi perhatian. Sisi lain jembatan gantung ini berada di wilayah metropolitan Jakarta, di satu pihak terkesan sangat kuno tetapi di pihak lain, karena hanya segitu kebutuhannya (hingga pada masa ini), jembatan kuno ala Indiana Jones ini sejatinya dapat dipermak sebagai situs eksotik yang valuenya tinggi sebagai bagian dari daya tarik wisata di Srengseng Sawah. Persoalan yang masih tersisa pada dasarnya hanya terletak pada kualitas jembatan gantung itu sendiri: sudah sangat mengkhawatirkan karena kualitasnya yang tidak memadai lagi, bahkan pejalan kaki tertatih-tatih menggunakannya dan jelas sulit dilalui oleh sepeda motor. Lantas bagaimana sebaiknya? Apakah merevitalisasi jembatan teknologi zaman kuno atau menggantinya dengan teknologi jembatan modern? Ada plus minusnya.

Onderneming (estate) C. Chastelein di Sringsing (sejak 1691)
Jembatan gantung teknologi suspensi ‘ala’ Indiana Jones versi Gubernur Anies Baswedan di wilayah Dki Jakarta adalah satu hal. Akan tetapi, bagi Wali Kota Depok, Srengseng (Sawah) adalah hal lain. Secara historis, Sringsing [kini Srengseng] adalah lokasi pertama yang dibuka di era VOC di sisi barat sungai Tjiliwong [kini Ciliwung] untuk dijadikan estate (perkebunan). Adalah Cornelis Chastelein yang berinidiatif membuka lahan pertanian di Sringsing, suatu wilayah rimba terpencil di sisi barat sungai Tjiliwong. Sebab pada saat itu, estate terjauh dari Batavia sudah sampai di Tdndjong (kini wilayah Pasar Rebo). Sedangkan pelabuhan sungai, sejak era Soenda Kalapa (Padjadjaran) sudah ada di Tililitan dan di Pondok Tjina. Diantara dua pelabuhan sungai inilah Cornelis Chastelein pada tahun 1694 merintis pembukaan lahan baru yang tidak lazaim. Sebab selama ini para planter VOC tidak pernah berpikir untuk membuka lahan-lahan baru (estate) di sisi timur sungai Tjiliwong (bahkan dari wilayah Cikini dan wilayah Pasar Minggu yang sekarang). Cornelis Chastelein adalah pionir di sisi barat sungai Tjiliwong. Setelah membuka lahan di sisi barat, Chastelein membuka lahan baru lagi di Depok (1706). 


Peta kuno 1695 (Tjililitan di timur dan Sringsing di barat)
Tidak lama setelah lahan Depok dibuka menyusul Sersan St. Martin membuka lahan di dua wilayah, yakni wilayah Pondok Terong (kini wilayah Citayam) dan wilayah Tjinirie (kini Cinere). Catatan: [Sersan St. Martin adalah tentara pemberani tetapi memiliki moral yang baik memimpin pasukannya untuk melumpuhkan Kaptein Jonker yang tidak terkendali yang melakukan tindakan brutal di (kesultanan) Banten. Wilayah estate Pondok Terong dan Tjinirie yang telah dipetakan oleh Abtaham van Riebeck tahun 1701 diberikan hadiah oleh Gubernur Jenderal VOC kapada St. Martin sebagai tanda jasa atas keberhasilnya memulihkan keadaan di Banten]. Oleh karenanya, wilayah Srengseng masa kini, dari sudut pandang Wali Kota Depok harus dilihat sebagai situs awal sebelum dimulainya Depok. Dengan kata lain, Sringsing yang kemudian nama wilayah berubah menjadi West Tandjong (kini Tanjung Barat, paralel di sisi timur sungai wilayah Pasar Rebo disebut Oost Tandjong) adalah cikal bakal (origin) dari Kota Depok yang sekarang. Dengan demikian, jembatan gantung teknologi kuno di Srengseng Sawah yang dilihat Gubernur Jakarta seyogianya Wali Kota Depok melihat wilayah Sringsing (atau Srengseng) sebagai titik origin Kota Depok.

Jembatan Gantung: Teknologi Jembatan Suspensi ‘ala’ Indonesia

Jembatan gantung terbuat dari rotan di sungai Batang Toroe, 1840
Sesungguhnya, jembatan gantung di era kolonial Belanda disebut jembatan teknologi suspensi adalah termasuk warisan (kearifan lokal) dari nenek moyang bangsa Indonesia. Jembatan gantung teknologi suspensi (terbuat dari rotan) ditemukan kali pertama di atas sungai Batang Toroe, distrik Angkola, Residentie Tapanoeli. Sementara jembatan-jembatan yang ada di Buitenzorg (kini Bogor) dan Preanger (kini Bandung) jembatan warisan lokal (kearifan lokal) adalah jembatan teknologi bambu. Prototype dua jenis teknologi jembatan warisan nenek moyang bangsa Indonesia ini diadopsi (vise-versa) oleh para insinyur-insinyur Belanda untuk memperkaya teknologi Eropa untuk diterapkan berbagai tempat di Hindia Belanda (baca: Indonesia).

Jembatan gantung terbuat kabel telegraf di Batang Toroe, 1860
Ketika Gubernur Jenderal Pieter Merkus menugaskan FW Jung Huhn melakukan ekspedisi geologi dan botani ke Tanah Batak tahun 1840. FW Jung Huhn sangat terpesona dengan melihat jembatan gantung di atas sungai Batang Toroe, Tapanoeli. Lalu FW Jung Huhn mengabadikannya dalam sebuah lukisan. Jembatan dalam lukisan tersebut terbuat dari rotan yang membentang rotan berkualitas bagus diantara dua sisi sungai. Pada tahun 1860, pemerintah Hindia Belanda meningkatkan mutu jembatan dengan mengganti bentangan rotan dengan kabel telegraf yang lebih kuat agar jembatan gantung dapat diperlebar agar bisa dilalui oleh pedati (sementara kerbaunya tetap melalui sungai). Jembatan dengan tenologi kabel telegraf (menggantikan tenologi rotan) yang mereka sebut jembatan suspensi diterapkan di berbagai tempat di wilayah lain.

Jembatan bambu Batoe Toelis sunga Tjisadane, Buitenzorg, 1820
Teknologi jembatan muncul sebagai pengetahuan masyarakat setempat (lokal) dengan memanfaatkan sumber daya lokal. Jembatan di sungai Batang Toroe memanfaatkan ketersediaan rotan kualitas tinggi (memiliki panjang puluhan meter dan diamter yang besar). Di West Java (terutama di Buitenzorg dan Preanger) ketersediaan bambu berkualitas tinggi banyak ditemukan. Oleh karenanya jembatan tradisional (kearifan lokal masyarakat setempat) di West Java umumnya jembatan terbuat dari bambu. Insinyur-insinyur Belanda juga tertegun melihat teknologi jembatan bambu seperti di Batoe Toelis, Bogor: jembatan bambu menggunakan bahan bambu dengan teknik lengkung ala McDonald (suatu teknik jembatan yang belum ditemukan dalam teknologi jembatan di Eropa).

Jembatang Merah Bogog dan Jembatan Batang Toroe
Pada awal pemerintahan Hindia Belanda (awal 1800an), keekonomian penerapan teknologi galvanis (besi baja) belum layak diterapkan di Hindia Belanda. Jembatan pertama di era VOC (1745) adalah jembatan di atas sungai Tjiliwong dekat Buitenzorg (jembatan Warung Jambu yang sekarang). Jembatan tersebut terbuat dari kayu (untuk melindunginya dibuat jembatan beratap). Jembatan kedua yang dibuat adalah jembatan Kwitang (untuk menghubungkan Weltevreden/Senen dengan Tanabang/Tanah Abang. Jembatan ini juga terbuat dari kayu dibangun di era Daendels. Pada tahun 1850an dibangun jembatan Roode Brug di Buitenzorg (Jembatan Merah yang sekarang). Kanal di bawah jembatan ini sendiri dibangun tahun 1825. Jembatan Merah adalah jembatan pertama di Hindia Belanda dengan menerapkan teknik lengkung, suatu metode jembatan bambu ‘ala’ nenek moyang kita yang banyak ditemukan di sekitar Buitenzorg (Bogor). Selanjutnya pada tahun 1879 jembatan gantung di sungai Batang Toroe untuk menggantikan jembatan suspensi (kabel telegraf) ditingkatkan dengan jembatan teknologi baru (kombinasi besi galvanis dan kayu bermutu tinggi) yang dikerjakan oleh Ir. A. Eisses. Jembatan Batan Toroe ini menjadi jembatan terpanjang (110 meter) di seluruh Hindia Belanda (lihat Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 08-05-1883).

Jembatan bambu spektakuler di sungai Tjitaroem, Bandoeng (1890)
Jembatan teknologi bambu dengan teknik lengkung yang spektakuler ditemukan di atas sungai Tjitaroem di Bandoeng. Jembatan bambu Tjitaroem ini merupakan warisan keahlian nenek moyang kita yang patut dihargai. Jembatan Tjitaroem ini boleh jadi menjadi inspirasi bagi insinyur-insinyur Belanda dalam membangun jembatan Roode Brug di Buitenzorg (Bogor). Semua itu bermula dari kearifan lokal (ilmu pengetahuan lokal) yang memanfaatkan bahan dasar lokal yakni bambu). Hal ini juga terkesan dalam pembangunan jembatan Batang Toroe dengan memanfaatkan bahan lokal kayu. Jembatan Batang Toroe terdiri dari tiga pilar besar yang dihubungkan dengan bentangan kayu balok (berdiameter 60 cm) dengan panjang 40 meter sebagai rangka dasar, lalu dikombinasikan dengan potongan-potongan besi galvanis. Kayu-kayu besar kala itu masih ditemukan banyak di sekitar hutan Batang Toroe.

Jembatan Gantung Srengseng Sawah: Jembatan Penghubung Sisi Barat dan Sisi Timur Sungai Ciliwung Sudah Ada Sejak Zaman Old

Sejauh informasi yang terkumpulkan, di era VOC tidak ditemukan satu pun perlintasan (penyeberangan) di sungai Tjiliwong dengan menggunakan jembatan. Semua perlintasan melalui air dengan sampan kayu atau rakit yang terbuat dari bambu di perlintasan Bidara Tjina, Tjililitan, Pondok Tjina, Depok dan Pondok Terong (Tjitajam). Lalu setelah West Tandjong (Lenteng Agoeng/Srengseng) berkembang muncul perlintasan melalui sungai di Tandjong (kini sekitar perumahan Tanjung Barat).

Jembatan kayu terawal di era VOC ditemukan di hilir sungai Tjiliwong di Kwitang dan di hulu sungai Tjiliwong di Tjiloear (baca: Warung Jambu yang sekarang) [Jembatan kayu sebelum direlikasi di Warung Jambu, jembatan kayu bearda di sejitar Sempur atau tugu Air Mancur yang sekarang)]. Dengan semakin mudahnya mendapat bahan baku yang kuat (galvanis, besi baja) dari Eropa (terutama setelah Terusan Suez dibuka tahun 1869) sejumlah jembatan besi-beton mulai diterapkan seperti revitalisasi jembatan Kwitang dan jembatan Warung Jambu. Jembatan besi beton (pondasi beton dengan rangka besi) yang lain lalu kemudian tahun 1864 dibangun di Meester Cornelis (sekarang jembatan Slamet Riyadi Jatinegara) sehubungan dengan pembagunan transportasi kereta api [stasion kereta api kala itu berada di Dipo Bukit Duri yang sekarang). Setelah itu baru tahun 1918 dibangun jembatan besi-beton di Depok (yang dikenal sebagai jembatan Panus yang situs aslinya masih dapat dilihat sekarang).

Jembatan bambu di atas sungai sudah sejak zaman kuno ada di wilayah hulu sungai Tjiliwong, tetapi itu hanya terbatas di atas sungai-sungai kecil seperti sungai Pesanggrahan (barat), sungai Tjikeas (timur). Hulu sungai Tjiliwong yang berdekatan dengan hulu sungai Tjisadane di Buitenzorg (baca: Bogor) juga sudah ditemukan jembatan bambu di sungai Tjisadane di Batoe Toelis dan Panaragan dan sungai Tjiliwong di Gadog (kini Gadok, Ciawi).. Dua sungai ini makin ke hilir ke arah Batavia makin lebar dan sulit untuk mencari posisi tepat untuk membangun jembatan bambu. Besar dugaan bahwa dari Tjikini hingga Pomdok Terong tidak pernah ada jembatan bambu karena jarak antara dua sisi sungai cukup lebar.

Wilayah Lenteng Agoeng (di era Cornelis Chastelein lebih populer disebut Sringsing) sacara defacto (geologis) memiliki cukup banyak celah sungai yang relatif sempit (tidak terlalu lebar dan juga bukan jurang yang dalam). Sebaliknya sangat sulit menemukan topografi daerah aliran sungai (DAS) yang telatif datar untuk memungkinkan adanya perlintasan sungai menggunakan sampan atau rakit bambu. Di wilayah inilah jembatan gantung ‘ala; Indiana Jones versi Gubernur Anies Baswedan berada. Sementara itu, jalan darat (kuda dan karavan) dari era zaman kuno (era Padjadjaran) dari Pakuan (Buitenzorg) hingga ke Soenda Kalapa (Batavia), yang berada di sisi barat sungai Tjiliwong tidak pernah memotong sungai (Kraton Pakuan dan pelabuhan Soenda Kalapa posisi gpsnya berada di sisi barat sungai Tjiliwong. Jalan darat ini tidak lain adalah rute jalan darat yang sekarang: Pakuan, Kedong Badak, Tjiliboet, Bodjong, Pondok Terong. Depok, Pondok Tjina, Sringsing hingga ke Tjikinie lalu menuju Soenda Kalapa (kelak disebut Pasar Ikan).


Wilayah Lenteng Agoeng adalah wilayah yang berkembang kemudian. Wilayah yang pertama dibuka adalah Sringsing (era Cornelis Chastelein), tepatnya Srengseng Sawah yang sekarang. Pada tahun 1750 dibangun estate di wilayah perumahan Tanjung Barat yang sekarang. Estate ini cukup luas, bukan untuk pertanian (karena ekosistemnya yang kering, tidak ada aliran sungai) tetapi untuk peternakan (produksi susu). Wilayah Lenteng Agoeng yang sekarang baru eksis di era Daendels (1800an). Hal ini karena situ Babakan dibentuk dan airnya dialirkan ke wilayah peternakan Tanjong Barat melalui kanal persis di bawah stasion Lenteng Agung yang sekarang. Wilayah Lenteng Agoeng (sekitar stasion) menjadi wilayah urban, sementara wilayah Sringsing tetap menjadi rural.

Meski Lenteng Agoeng sudah menjadi urban, muncul pemukiman orang-orang Tionghoa, akses jalan (perlintasan) di sungai Tjiliwong tetap masih dibutuhkan. Hal ini karena satu-satunya pasar besar terdekat (selain pasar Tjiloear di hulu sungai Tjiliwong) adalah pasar Tjimanggis, pasar Oost Tandjong (pasar Rebo) dan pasar Tangerang. Pasar-pasar kecil seperti pasar Tjitajam (sekitar stasion Citayam yang sekarang), pasar Kemiri (Moeka) dan pasar Paroeng tidak berdiri sendiri tetapi memiliki link dengan pasar-pasar besar (Tentu saja pasar Minggoe dan pasar Tanabang belum ada). Pasar pertama di Batavia yang merupakan pasar paling besar adalah pasar di Weltevteden (kini Pasar Senen). Aliran produk industri (impor) dan produk ekspor (pertanian) dari semua pasa-pasar dalam perkembangannya membutuhkan akses jalan melalui jembatan. Setelah estate berkembang di Wilayah Paroeng (perluasan estate Tjitajam, Bojong Gede, Sawangan dan Tjinirie), pasar Parong makin besar karena menjadi hub untuk Pasar Tangerang dan Pasar Tjimanggis dan Pasar Rebo.  

Semakin tingginya popolasi di Lenteng Agoeng dan berkembangnya volume transaksi di pasar-pasar dan aliran produk semakin kencang, maka untuk melangsung aliran produk sepanjang tahun, perlintasan sungai menjadi tidak efektif lagi. Pembangunan jembatan menjadi solusi. Jembatan yang dibangun itu besar dugaan adalah jembatan Gardu di Srengseng Sawah yang masih eksis hingga sekarang. Jembatan ini diduga menjadi satu-satunya jembatan di wilayah tengah sungai Tjiliwong. Posisi jembatan Srengseng Sawah ini sangat strategis dari bebagai hal (geografis, geologis dan arus perdagangan). Aliran produk dari dan ke semua pasar-pasar di sisi barat dan timur sungai Tjiliwong diduga melalui Srengseng. Jembatan Srengseng dalam hal ini menjadi perlintasan dari pasar di Paroeng (melalui Sawangan dan Pondok Tjina), Pasar Tjitajam dan pasar Kemiri menuju Pasar Rebo (Oost Tandjong) melalui Kali Sarie (wilayah Cijantung yang sekarang).

Kapan jembatan Srengseng dibangun tidak terinformasikan secara jelas. Namun bisa diduga setelah Lenteng Agoeng berkembang dan Pasar Paroeng semakin besar. Fase ini diduga sekitar tahun-tahun perkembangan estate-estate di Paroeng dan sekitarnya yang berdasarkan informasi yang terkumpul sekitar tahun 1860an. Lenteng Agoeng semakin urban lebih-lebih setelah transportasi kereta api Batavia-Buitenzorg mulai beroperasi tahun 1873 yang mana salah satu halte (baca: stasion) dibangun di Lenteng Agoeng (stasion Lenteng Agung yang sekarang).

Dengan demikian jembatan gantung Srengseng Sawah bukanlah jembatan gantung baru tetapi diduga sudah eksis sejak lama (perkiraan sekitar tahun 1860an). Namun yang menjadi pertanyaan posisi jembatan gantung Srengseng ini apakah posisinya itu dari doeloe atau posisinya berada di tempat lain di sekitar wilayah Srengseng Sawah. Jembatan gantung Srengseng menjadi satu-satunya jalan akses di wilayah tengah sungai Tjiliwong sebelum memasuki ke-20. Jembatan gantung di Srengseng besar kemungkinan adalah introduksi baru model jembatan kuno di DAS Tjiliwong. Tradisi jembatan bambu yang eksis sejak lama diperkaya dengan adanya jembatan gantung (suspensi) di atas sungai Tjiliwong.

Jembatan gantung yang kali pertama ditemukan (terlaporkan) adalah jembatan gantung yang terbuat dari rotan di atas sungai Batang Toroe di Residentie Tapanoeli. Jembatan gantung ini dilaporkan oleh FW Jung Huhn 1840. Sebagaimana diketahui Jung Huhn setelah pulang dari Tapanoeli diangkat menjadi pejabat di wilayah West Java yang berkedudukan di Preanger (tahun 1864). Jung Huhn kemudian menghabiskan sisa hidupnya berdidikasi di wilayah West Java sehubungan dengan pengembangan perkebunan kina dan variates teh yang baru (Jung Hhun dimakamkan di Lembang). Jembatan gantung terbuat rotan di Batang Toroe tersebut pada tahun 1860an ditingkatkan mutunya dengan menggunakan kabel telegraf (muncul nama istilah jembatan suspensi).

Jembatan gantung yang terbuat dari kabel telegraf (jembatan suspensi) diduga kemudian diperbanyak di Hindia Belanda untuk menjangkau wilayah-wilayah yang selama ini sulit diakses dengan jalan darat. Sesuai dengan perkembangan jaman, kabel telegraf digantikan oleh kabel yang terbuat dari kawat besi agar mampu mengimbangi meningkatnya tonase angkutan lalu lintas di atas jembatan.

Satu hal yang perlu diingat, sebagaimana jembatan teknologi bambu adalah warisan nenek moyang kita, jembatan gantung juga pada dasarnya adalah jembatan teknologi nenek moyang kita. Alam nenek moyang kita kala itu masih kaya dengan bahan-bahan baku seperti bambu yang panjang dan besar, juga rotan yang panjang dan besar. Bahan-bahan ini tentu saja tidak ditemukan di Eropa apalagi di Nederland. Oleh karenanya jembatan teknologi bambu dan jembatan gantung rotan adalah milik (kearifan lokal) bangsa Indonesia juga.   

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

1 komentar:

  1. adakah informasi tentang jembatan gantung akses pasar Minggu-Condet Balekambang ?

    BalasHapus